Oleh:

Muhidin M. Dahlan

Kerani di Warungarsip.Co.

 

Barangkali 2013 adalah tahun sekarat Balai Pustaka (BP). Bukan hanya kali ini BP dinyatakan sakit, koma, dan kemudian bangkit lagi. Di masa kolonial, BP menjadi pemain tunggal penerbit, percetakan, dan distributor buku milik negara. Arus utama sastra Indonesia juga ditentukan oleh "ideologi" yang diusung BP. Penerbit inilah yang menentukan mana "sastra baik" dan mana "sastra aneh-aneh"—meminjam  istilah Subagio Sastrowardojo. "Sastra baik" dihidupkan, "sastra aneh-aneh", eksperimental, disingkirkan. Munculnya "bacaan liar" dari kaum pergerakan kebangsaan adalah antitesis dari BP.

Sejak masih bernama Commisie voor Indlansche School en Volklectuur pada1908 dan berubah nama menjadi Balai Pustaka pada 1917, kehadiran raksasa ini sudah dikritik Tirto Adhi Soerjo. Bukan karena Rinkes, sang pendiri BP, adalah musuh bebuyutannya di lapangan pergerakan kebangsaan, melainkan lantaran kehadiran BP mengebiri hak-hak komunitas pergerakan untuk menerbitkan bacaan. Menurut 'I'irto, ketimbang mendanai penerbitan khusus, alangkah baiknya dana pemerintah diberikan kepada komunitas masyarakat untuk pemberdayaan literasi.

Kritik Tirto Adhi Soerjo tak  meleset. Setelah perannya dilikuidasi dari cakrawala pergerakan pada 1913, buku-buku yang ditulis olehnya dan kaum pergerakan setelahnya langsung dicap sebagai "batjaan liar". Nasib penulis "batjaan liar" itu tentu sudah bisa ditebak di mana muaranya: penjara. Kekuasaan yang begitu gigantis serta menentukan apa yang harus dibaca dan tidak dibaca masyarakat itu kemudian dimatikan Kenpetai pada paruh awal 1940-an. Itulah masa ketika BP mengikuti tragika majikannya: masuk kubur bersama-sama di ujung samurai serdadu Jepang.

 

 

Seiring terbitnya fajar kemerdekaan, BP masuk dalam proyek "nasionalisasi". BP tak ikut abadi dalam kuburan, melainkan mengalami reinkamasi dan kembali dengan posisi seperti semula menjadi ikon negara di bidang penerbitan. Namun perannya tentu saja diciutkan. Pada 1963, keluar beslit baru bahwa BP hanya punya peran: percetakan dan distributor tunggal buku pelajaran.

Divisi penerbitan pun "dilikuidir", yang membuat perannya di bidang penerbitan sastra merosot tajam. Sebagai bekas editor BP, sastrawan Pramoedya Ananta Toer punya catatan kemarahan atas kebijakan Mohammad Jamin yang tak "populer" itu karena mengancam dapur keluarganya. Dan saat itu juga lenyap peran BP di arus perbincangan sastra. Namun tidak sebagai pengedar bacaan di sekolah-sekolah. Peran sebagai distributor buku pelajaran itulah rupanya yang menghidupkan BP. Apalagi setelah rezim berganti dan rezim baru tersebut mengeluarkan Inpres 1973 tentang pengadaan buku pelajaran. BP pun tancap gas memasuki sekolah secara leluasa, nyaris tanpa pesaing. Mengapa? Karena ia memegang mandat dari Departemen Pendidikan & Kebudayaan, selain mencetak ulang buku pelajaran sekolah dari SD hingga SMA, juga menjadi rantai distribusi hingga ke sekolah-sekolah tersebut.

Keasyikan bermain di area nyaman membuat saraf kreativitas BP menjadi tumpul. BP menjadi penerbit yang tua, gembrot, dan tentu saja pemalas. Dunia berlari, tapi BP tetap duduk di tempatnya sambil terus memimpikan dunia perbukuan ini tak pernah berubah. BP masih dengan mimpi leluhurnya di masa kolonial sebagai pelaku tunggal dunia literasi. Jika pesaingnya macam-macam, tinggal meminta para marsose membereskannya. Mimpi itu terus abadi dalam kenangannya. Dan sialnya, tak pernah mau datang.

Ketika alaf berganti, rezim berubah, beberapa badan usaha negara terkaget-kaget. Di era liberalisme, persaingan menjadi kebajikan baru. BP tidak hanya terlambat mengantisipasi datangnya zaman baru ini, tapi juga tak mau. Akibatnya, penyakit menggerogotinya tanpa ampun di pembaringannya yang sudah terlampau uzur. Hingga 2013, BP sudah berusia 105 tahun dengan melewati lima perubahan rezim. Sebagai badan usaha negara, BP dipaksa mencangkul dan mencari laba sebanyak-banyaknya dalam dunia perbukuan. Namun para pesaing di bidang yang disuntuki BP ini terlalu banyak, kuat, dan sekaligus terlatih di sirkuit penerbitan dan distribusi.

 

Benar, BP masih berada di ketiak negara. Namun kekuasaannya tak lagi sekuat pada masa kolonial dan seleluasa di masa Orde Baru. Maklum, pesaingnya, yang hari ini menjadi raksasa buku, pada masa itu masih balita yang layak diabaikan BP. Selain tuna dalam kreativitas BP dihuni mental-mental pegawai negeri yang dalam kamus hidupnya tak ada jiwa bagaimana berselihai dalam menangkap momentum zaman. Dalam kamus amtenaar, prestasi atau tidak, gaji yang diambilkan dari anggaran belanja negara tetap ada dan datang. Dalam soal gaji, begitu mimpi semua amtenaar, negara tak pemah ingkar janji.

Namun negara yang memerintah berubah-ubah wataknya. Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, dana segar untuk menyelamatkan BP benar-benar sudah distop. Pada 2010, perusahaan pengelola aset (PPA) mengusulkan agar BP berubah saja menjadi badan layanan umum (BLU). Kalau masih mau jalan, aset-aset yang ada dijual saja.

Nah, BP masih bisa terdengar suaranya sampai saat ini bukan karena beroleh laba dari usaha percetakan dan penerbitannya, melainkan lantaran dana dari menjual-jual harta yang ada. Itu pertanda, penerbit yang seratusan tahun lampau menjadi musuh kaum pergerakan ini benar-benar sudah sampai di akhir hayatnya.

Sumber: Koran Tempo, 23 Maret 2013

Kembali