Oleh:

Dian R. Basuki

 

Sebuah berita memecah kesunyian, September lalu: "Postmodern Writer Is Found Dead at Home." David Foster Wallace, yang novel-novel ironis dan gelapnya, juga esei dan cerita pendeknya, menjadikan dirinya salah satu penulis paling berpengaruh di AS dari generasinya, ditemukan tewas menggantung diri di rumahnya. Wallace mengakhiri kariernya di usia 46 dan dikenang sebagai guru hebat yang mempedulikan mahasiswanya.

Ketika menasuki arena literer pada 1990an, ia mengusung gaya yang kerap dilukiskan sebagai pyrotechnic, dan kerap dibandingkan dengan karya Jorge Luis Borges dan Thomas Pysnchon. Karya pentingnya, Infinite Jest (1996), menggambarkan masa depan yang dekat, suatu zaman yang disebut "The Year of the Depend Adult Undergarment." Novel ini penuh rujukan, dan memuat lebih dari 100 halaman catatan kaki yang menjadi 'merek dagang' Wallace. Namun, yang lebih mengundang, ini adalah perpaduan humor, fobi, kegelisahan, dan mania.

Ada apa dengan Wallace? Apakah ia telah meramalkan kematiannya? Ia mungkin bukan novelis paling ternama pada masanya, tapi ia menyuarakan dengan lebih keras kegelisahaan dan sikap generasinya. Ia sejenis figur literer yang kariernya menjadi pertanda bagi zamannya. Ia banyak dibaca, dan diikuti. Kematiannya, karena itu, akhirnya menggoda orang untuk menarik benang merah antara kehidupannya dan karyanya: apakah cerita "Death Is Not the End," "Suicide as a Sort of Present," dan "The Depressed Person" tak cukup dibaca sebagai fiksi belaka, terputus dari kontinuum hidup kesehariannya?

Orang menduga-duga, di balik kemashuran yang ia raih, ia berjuang keras untuk menepis pengaruh mereka yang ia sebut patriark. "Jika aku memiliki musuh," ujarnya suatu ketika di awal 1990-an, "mereka adalah patriark yang harus aku bunuh, dia mungkin (John) Barth dan Coover dan Burroughs, bahkan Nabokov dan Pynchon," Sejauh itu, Wallace berhasil menempatkan dirinya berbeda di antara para patriark itu.

Sebagian orang membaca cerita-cerita dan perkataan-perkataan itu sebagai isyarat, tapi isyarat yang tak selalu dipahami kecuali sesudah sang pengarang menjemput maut. Seperti kematian Wallace, kematian penyair Silvia Plath, dalam bunuh diri pada 11 Februari 1963, membuat orang tergoda untuk melacak puisi-puisinya, sebab orang percaya bahwa puisi Plath adalah juga perasaan dan pikirannya. Bukan yang terputus, bukan yang terpisah.

"Hari yang sangat menekan. Aku tak bisa menulis apapun .. . ," tulis Plath dalam catatan hariannya tertanggal 3 Oktober 1959. Upaya bunuh dirinya yang pertama, dengan minum pil tidur melebihi dosis, tak berhasil mencabut  nyawanya. Sebuah jejak, faktual, juga yang tersirat dalam puisinya yang disebut oleh psikolog Steven Gould Axelrod "puisi pengakuan," dan puisi pengakuan adalah otobiografi krisis yang mengatakan ihwal depresi internal dan tekanan sosial. Lima puisi Plath dari The Collected Poems, Jennifer Yaros menulis, memperkuat indikasi upaya bunuh diri secara kronologis semakin kuat dan semakin kuat "Elm," "Lady Lazarus,", "Words," "Contusion" dan "Edge."

Ernest Hemingway, yang menembak dirinya sendiri, menjumpai peristiwa kematian yang membuatnya terguncang saat berada di meda perang di Italia yang mengilhaminya untuk menulis cerpen A Natural History of the Dead. Di musim semi 1961, peraih Nobel ini berusaha bunuh diri, gagal. Ia baru berhasil ketika menembak diri tiga pekan menjelang ulang tahunnya ke-62. Secara literer, ia telah diakui lewat The Old Man and the Sea, dan dinobatkan lewat Nobel. Tidak cukupkah bagi lelaki ini?

Orang mencari penjelasan dari jejak genetik Hemingway yang mengesankan ayahnya, Clarence Hemingway, saudara kandungnya Ursula dan Leicester, dan cucunya Margaux Hemingway memilih jalan bunuh diri untuk mengakhiri hidup mereka. Sebagian orang yakin, anggota keluarga Hemingway dari garis ayah mengidap penyakit haemochromatosis (bronze diabetes) konsentrasi zat besi yang berlebih dalam darah menyebabkan kerusakan pada pankreas dan menyebabkan depresi atau ketidakstabilan dalam serebrum (otak besar).

Kematian tiba-tiba ibunya (1895), ketika ia berusia 13, dan kematian saudara tirinya Stella dua tahun kemudian, membawa Virgnia Woolf pada nervous breakdown. Kematian ayahnya, tak lama kemudian, membuat penulis ini makin terguncang. Setelah menyelesaikan manuskrip novel terakhirnya (yang terbit sesudah kematiannya), Between the Acts, Woolf mengalami depresi. Ia seperti mendengar suara-suara mungkin seperti yang dirasakan matematikawan John Nash. "Aim merasa pasti bahwa aku menjadi gila lagi. Aku merasa kita tak bisa melewati saat-saat yang menakutkan itu ... Aku mulai mendengar suara-suara, dan aku tak bisa berkonsentrasi ... ," Woolf sempat menulis surat terakhir untuk suaminya.

Ada banyak jalan menuju kematian, dan Woolf memilih jalannya sendiri. Pada 28 Maret 1941, Woolf mengenakan mantelnya, mengisi sakunya dengan bebatuan, lalu berjalan menuju River Ouse yang dekat dengan rumahnya. Ia melompat ke arus sungai dan menenggelamkan diri, mengukur kedalaman sungai. Tubuhnya baru ditemukan 18 April. Suaminya menguburkan Woolf di bawah sebatang pohon di taman rumah mereka di Rodmell, Sussex.

Sepertinya, Wallace, Woolf, Plath, dan Hemingway telah meramalkan kematiannya dan mendahului orang lain dengan menuliskan obituari mereka sendiri.

Sumber: Koran Tempo, “Ruang Baca” Edisi 58,  Februari 2009

Kembali