Masyarakat Literasi Indonesia

Literasi Sains

Ada hal menarik dari hasil menganalisis warisan literasi karya para penulis nusantara di masa lalu.  Ternyata karya-karya mereka yang  terkenal sampai sekarang hampir semuanya berkaitan dengan masalah kekuasaan atau politik dan filsafat moral. Saya tidak  menemukan tulisan  yang berkaitan dengan hasil pengamatan terhadap fenomena alam dan meteri atau saintifik. Misalnya, nenek moyang kita memiliki kemampuan membuat keris yang indah akan tetapi yang banyak dibahas adalah dari aspek seni, filosofi, dan magisya bukan dari aspek teknologinya. Candi Borobudur sampai hari ini masih misteri secara teknologi karena tidak ada dokumentasi ilmiah yang terwarisi.

Sampai hari ini pun masyarakat kita belum memiliki budaya litrasi Iptek.  Riset yang dilakukan oleh Kompas (2008) menyimpulkan bahwa  tema sains belum menjadi favorit. Pusat Riset dan Pengembangan Literatur Keagamaan Depag (2012)  memberikan data tentang manuskrip nusantara yang berhasil dikumpulkan ternyata tema yang paling banyak adalah mengenai sufisme  (603), disusul dengan hagiografi tradisional (484) dan dongeng (331), dll. Seluruh bidang yang berkaitan dengan sains tidak lebih dari 100 buah. Yang terbaru dilakukan oleh YouGov   tentang lemahnya literasi sains. Survei yang dilakukan di 23 negara menempatkan masyarakat Indonesia di urutan tertinggi yang tidak percaya pemanasan global dipicu manusia. Fenomena ini bisa berimplikasi pada kurangnya tanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan (Kompas, 13 Mei 2019)      

Lemahnya budaya literasi sains  berdampak kepada lemahnya kinerja dan capaian  bidang strategis terutama  bidang penelitian, inovasi (Indonesia berada di peringkat 97 dari 141 negara,  Global Innovation Index 2015) dan lemah daya saing bangsa (Indonesia berada di poisisi 37 dari 56 negara, The Global Competitiveness Report 2015-2016). Di samping itu, lemahnya literasi ilmu pengatahuan  juga berdampak kepada pengangguran dan kemiskinan; perilaku  perundungan (bullying), fundamentalisme, dan  radikalisme;  serta sangat rentannya masyarakat terpapar berita bohong (hoax) atau post-truth dan antisains. Secara personal lemahnya budaya literasi juga mengakibatkan lemahnya kemandirian bahkan berpengaruh terhadap kejiwaan.

Menurut saya itulah salah satu penyebab Indonesia belum menjadi negara maju sampai sekarang. Negara  yang abai terhadap pembangunan budaya literasi Iptek akan dikutuk menjadi negara terbelakang sampai langit runtuh. Yunani misalnya, bangsa yang asalnya menjadi soko guru peradaban dunia—negeri para filsuf itu—kini  menjadi negara gagal (failed state) karena terlilit utang.  Yunani gagal mentrasformasi diri dari bangsa filosofis menjadi bangsa yang pragmatis. Sejarah banyak memberikan bukti bahwa jarang sekali ada filsuf  yang hidupnya kaya, kalau yang menjadi gila banyak.

Dari dahulu sampai hari ini imperialisme dan kolonialisme  pada hakikanya adalah  perang Iptek bukan sekadar perang ideologi. Bangsa kita dijajah sampai berabad-abad lamanya  pada hakikatnya adalah kuasa literasi sans  atas budaya non-sains. Tom Pires (1465-1540), Cornelis de Houtman (1565-1599), dan Jan Huygen van Lin-schoten (1563-1611) adalah para penjelajah dunia yanag menemukan rute nusantara sebagai pembuka pintu penjajahan.  Mereka  semua  tidak kesasar bertandang ke nusantara karena atas petujuk sains bukan hasil perdukunan.  Akhirnya VOC datang ke nusantara pada tahun 1602, bukan hanya berbekal kapital saja  tapi juga kapalnya penuh dengan senjata canggih—sebagai produk ilmu pengetahuan—yang digambarkan seperti panggung senjata di atas laut. Setelah itu menyusul para ilmuwan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekakayaan nusantara demi kapital mereka. 

Kegiatan ilmiah di Indonesia diawalai pada abad ke-16  oleh Jacob Bontius  yang mempelajari flora Indonesia dan Rompius dengan karyanya yang terkenal berjudul Herbarium Amboinese. Pada akhir abad ke-18 dibentuk Bataviaasch Genotschap van Wetenschappen. Dalam tahun 1817, C.G.L. Reinwardt mendirikan Kebun Raya Indonesia (S'land Plantentuin) di Bogor. Pada tahun 1928 Pemerintah Hindia Belanda membentuk Natuurwetenschappelijk Raad voor Nederlandsch Indie. Kemudian tahun 1948 diubah menjadi Organisatie voor Natuurwetenschappelijk onderzoek (Organisasi untuk Penyelidikan dalam Ilmu Pengetahuan  Alam, yang dikenal dengan OPIPA). Akhirnya tahun 1967 menjadi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 1967.  

Pada tahun 1858 Alfred  Russel Wallace mengunjunga nusantara. Catatan perjalanannya (logbook)  dituangkan dalam buku The Malay Archipelago (1869). Dalam buku ini ditemukan nama-nama flora dan fauna Nusantara dalam nama ilmiahnya, lengkap dengan kedudukan spesies tersebut dalam taksonomi. Persebarannya pun dijabarkan secara terperinci, lengkap dengan perkiraan perubahan lempeng bumi dan masa geologisnya. Wallace juga menggambarkan fenomena mimikri pada beberapa spesies serangga dan burung. Adakah ilmuwan kita yang memiliki logbook sebagus yang dibuat Wallace?

Sayang, yang terwarisi dari penjajah hanyalah budaya politik, birokrasi, dan  feodalismenya bukan spirit saintifiknya. Sejak Indonesia merdeka sampai sekarang perhatian negara terhadap pembangunan literasi Iptek masih kurang. Hal ini tercermin dari prioritas pembangunan dari rezim ke rezim.  Setelah 75 tahun merdeka  anggaran riset baru 0,25 persen dari PDB.  Sehingga ada anekdot, bangsa lain sedang berlomba mengeksplorasi bulan, tapi kita tidak bergeming karena ilmuwan Indonesia sudah terbiasa hidup merana di tengah bulan, bahkan terbiasa bertahan hidup dari bulan ke bulan—karena gajinya kecil. 

 Semua negara-negara besar memiliki proyek-proyek Iptek ambisius dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi, energi terbarukan, dan antarikasa. Tentu saja bukan hanya pamer kekutan Iptek, yang lebih penting adalah mengajak,  mendorong, dan mengarahkan pola pikir masyarakatnya supaya berbudaya ilmiah. Hari  ini kita dibuat kagum sekaligus tidak berdaya oleh  China yang agresif dalam perdagangan dan  teknologi. China bisa maju seperti itu karena sejak lima belas tahun yang lalu menjadikan scientific literacy sebagai program negara yang secara serius dilaksankan secara terstruktur, sistematis, dan  massif.

Tanpa membangun budaya literasi Iptek bangsa kita mustahil akan menjadi bangsa maju. LIPI sebagai lembaga riset terbesa di Indonesia sangat potensial untuk menjadi lokomotif  dalam proyek ini. LIPI memiliki semua sumber daya yang diperlukan—  ilmuwan terbanyak dan infrastruktur riset terlengkap.  Tujuan utama  pembangunan budaya literasi Iptek adalah untuk membangun sikap atau karakter ilmiah (scientific attitude).  Supaya masyarakat Indonesia terbiasa: berpikir rasional; mengambil keputusan secara objektif yang didasarkan kepada fakta dan data; berbicara dan bekerja berdasarkan ilmu pengetahuan; menyenangi hal-hal yang baru dan menikmati tantangan serta perubahan; dan selalu melahirkan gagasa-gagasan baru secara produktif.

Berlimpahnya kekayaan alam ternyata tidak menjadikan Indonesia menjadi bangsa yang maju dan sejahtera, bahkah berbalik menjadi kutukan sumber daya atau paradoks keberlimpahan. Itu terjadi karena bangsa kita abai terhadap pembangunan budaya Iptek.  Akhirnya bangsa kita menjadi bangsa “berbudaya” akan tetapi tidak berdaya.

Sebagaimana cerita Malin Kundang, apabila tidak mentrasformasi diri menjadi masyarakat berbasis Iptek,  Indonesia pun akan dikutuk menjadi “batu”, benda mati yang tidak bisa berkembang, malah bisa hilang ditelan bumi (sirna ilang kertaning bumi).   

*Tulisan ini dimuat di Kompas.com.,  4 Agustus 2020 dengan judul "Urgensi Literasi Iptek" (Suherman)

Masyarakat Literasi Indonesia

Kecerdasan Literasi

Di zaman informasi seperti saat ini, hal yang sulit bukanlah mencari informasi, akan tetapi memilih dan mengolahnya sengingga menjadi informasi yang bernilai. Jangan terlalu bangga dengan kuantitas informasi yang dimiliki, bisa jadi itu akan tidak berarti apa-apa atau disfungsional. Dalam skala organisasi, sekarang ini banyak perpustakaan beralih menjadi museum buku dan lembaga repositori menjadi museum informasi. Hal tersebut terjadi karena informasi yang dimiliki tidak termanfaatkan sehingga menjadi idle information. Lebih baik memiliki informasi yang tidak banyak tapi berharga daripada memiliki jutaan informasi tapi tidak berharga. Bukankah lebih baik memiliki segenggam berlian daripada sekarung pasir? Idealnya memang memiliki informasi banyak dan berharga semuanya.

Menguasai informasi merupakan syarat utama untuk menjadi manusia yang berpengetahuan. Akan tetapi banyak informasi belum tentu juga bisa mengakselerasi pemahaman. Bayangkan!, pada tahun 2012 jumlah data dan informasi yang dihasilkan dan direplikasi diperkirakan mencapai lebih dari 2,8 zetabita atau sekitar 2,8 triliun gigabita. Tingkat pertumbuhan data mencapai sembilan kali lipat dalam waktu lima tahun. Angka ini diperkirakan terus meningkat hingga 50 kali lipat pada tahun 2020 (Livikacansera, 2016)

Kita tidak harus mengetahui semua hal tentang sesuatu agar memahaminya. Terkadang terlalu banyak fakta seringkali sama-sama menghambat pemahaman seperti juga terlalu sedikit fakta. Bahkan ada kesan bahwa terlalu dibanjiri oleh informasi sehingga menghancurkan pemahaman. Adler (2011) mengatakan yang dimaksud dengan belajar adalah memahami lebih banyak, bukan mengingat lebih banyak informasi yang tingkat keterpahamannya (intelligibility) sama dengan informasi lain yang sudah Anda miliki. Montaigne berbicara tentang “an abecedarian agnorance that precedes knowledge, and another doctoral ignorance that comes after it.” Yang pertama adalah ketidaktahuan orang-orang yang sama sekali tidak bisa membaca karena buta huruf. Yang kedua adalah ketidaktahuan orang-orang yang banyak membaca buku denga cara yang salah. Mereka, seperti dikatakan Paus Alexander, adalah orang-orang pandir yang banyak membaca buku akan tetapi dengan cara yang bodoh.

Sekarang ini banyak pusat repositori yang terobsesi untuk membangun data yang besar (big data). Tentu saja itu adalah hal yang baik dan positif sepanjang fungsional. Akan tetapi harus dipertimbangkan juga apakah dengan adanya google dan mesin pencari (search engine) lainnya big data yang ada di sebuah lembaga repositori masih diperlukan. Mengapa tidak memanfaatkan fasilitas yang sudah ada saja. Apabila masalah privasi dan eklusivitas masih menjadi pertimbangan, justru akan bertentangan dengan demokratisasi informasi yang apabila dinegasikan akan merugikan diri sendiri.

Supaya tidak terjebak kepada kesia-siaan maka diperlukan keterampilan memilih informasi dan mengelolanya menjadi informasi yang berharaga, yang saya sebut dengan kecerdasan literasi. Bayangkan, setiap hari milyaran informasi diproduksi baik oleh perorangan maupun lembaga, sehingga kita bagaikan berenang di lautan informasi dan mungkin juga menjadi tenggelam di dalamnya. Tanpa kecerdasan informasi alih-alih kita akan mendapat kemudahan malah mungkin akan terlibas dan tertelan gelombang informasi. Kecerdasan literasi ibarat papan selancar yang akan membawa kita mengarungi irama gelombang dari lautan informasi.

Kecerdasan informasi mutlak diperlukan terutama oleh lembaga repositori supaya koleksi informasi yang tersedia dapat disintesiskan, disajikan, dan didesiminasikan menjadi informasi yang aktual dan bernilai. Lebih jauh, dengan kecerdasan informasi, lembaga repositori menjadi lembaga yang antisipatif terhadap perkembangan informasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang akan muncul dan menjadi trend di masa yang akan datang.

 

Empat Pilar

Lebih dari dua puluh tahun yang lalu seorang futurolog Alvin Toffler mengatakan bahwa sekarang ini adalah dekade gelombang ketiga yaitu gelombang informasi. Pada era ini kegiatan ekonomi akan berbasis kepada pengetahuan atau knowledge based economy, di mana informasi akan menjadi komoditas yang sangat menentukan. President of Microsoft Amerika Latin Herman Rincon bahkan menyamakan data sebagai mata uang baru. Masih menurut Rincon, sekitar 90 persen dari seluruh data yang ada saat ini tercipta hanya dalam waktu dua tahun terakhir. Dari aspek bisnis, nilai pasar global big data diprediksi mencapai 53,4 miliar dolar AS pada tahun 2017.

Seharusnya lembaga yang akan berperan dan tentu saja yang disangka akan mendapat banyak keuntungan adalah perpustakaan dan lembaga repositori. Karena lembag-lembaga inilah yang mengakumulasi pengetahuan dan informasi. Akan tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Lembaga-lembaga tersebut tetaplah seperti business as usual, malah semakin hari lembaga ini semakin tergerus peran dan posisinya, bahkan sudah banyak yang mati atau bubar. Hal ini terjadi karena lembaga-lembaga pengetahuan ini hanya mengkoleksi sumber informasi dan pengetahuan bukan mengolohnya menjadi informasi baru yang bernilai. Kebanyakan lembaga repositori yang ada sekarang ini ibarat pasar tradisional yang menyediakan berbagai macam jenis informasi. Dan dengan pasif menunggu pembeli yang datang. Dalam prosesnya, sebagian besar lembaga ini hanya membuat klasifikasi sumber informasi berdasarkan kepada jenis informasi bukan berdasarkan kepada nilai informasinya.

Secara teknis Yanuar Nugroho dan Luis Crouch (2016) memberikan formulasi supaya data dan informasi menjadi fungsional atau berharaga: pertama, gunakan lebih banyak disaggregeted data (data yang dapat dipilah-pilah). Kedua, fokus pada input yang membuahkan hasil kahir positif, berdasarkan bukti, data, ataupun penelitian. Ketiga, mendorong inovasi dan kolaborasi antar berbagai sektor. Keempat, memastikan bahwa masyarakat sipil serta pemerintah pusat dan daerah menggunakan data untuk mengambil keputusan. Empat langkah terknis formulasi tersebut bisa dilakukan apabila dibarengi dengan kecerdasasn literasi yang memadai.

Untuk meraih kecerdasan literasi minimal diperlukan empat pilar utama yang sangat fundamental: pertama, tradisi membaca. Kecerdasan literasi akan dimiliki hanya oleh orang-orang yang memiliki tradisi membaca yang baik. Malah, apabila tradisi membaca sudah terpateri atau sudah menjadi karakter dalam diri seseorang dengan sendirinya pasti orang tersebut memiliki kecerdasal literasi. Tentu saja bukan hanya membaca, akan tetapi dengan sistematika dan perencanaan yang baik. Memiliki banyak informasi kalau tidak fungsional atau tidak saling berkorelasi tidak akan menghasilkan output yang bernilai. Tradisi membaca adalah pilar utama untuk memperoleh kecerdasaran literasi. Jangan bermimpi memiliki kecerdasar literasi tanpa memiliki tradisi membaca yang baik.

Kedua, manajemen pikiran. “Anda adalah apa yang anda pikirkan” kata Carnegie. Artinya pikiran adalah akar dari perilaku manusia. Tindakan atau prilaku seseorang tidak mungkin keluar dari bingkai pikirannya. Oleh karena itu, untuk membangun karakter langkah pertama yang harus dilakukan adalah memperbaiki kualitas pikiran. Dan kualitas pikiran sangat ditentukan oleh kualitas informasi yang masuk ke dalam benak yang kemudian diproses menjadi ide atau gagasan.

Input informasi yang salah otomatis akan mengeluarkan output yang berupa ucapan atau perbuatan yang juga salah. Perilaku seseorang tidak akan keluar dari perintah pikiran, walaupun informasi yang membentuk pikiran kita adalah informasi yang salah. Tidak jarang konflik terjadi karena misinformasi atau mendapatkan informasi yang keliru (hoax) melalui intrik atau isu yang kebenarannya tidak bisa dipertanggung-jawabkan.

Oleh karena itu, biasakanlah diri untuk mengetahui sesuatu sebagaimana ia adanya, secara akurat, dan objektif yang disebut dengan ilmu pengetahuan. Tidak ada sesuatu yang dapat dilakukan secara benar, kecuali jika mempunyai pengetahuan yang benar tentang sesuatu tersebut.

Selain mempunya daya serap yang selektif terhadap informasi, juga harus memiliki kemampuan berpikir secara meluas dengan informasi yang general dan mendalam dengan informasi yang bersifa spesialis. Yang pertama lebih berorientasi pada keluasan cakupannya, sedangkan yang kedua lebih berorientasi pada kedalamannya. Yang pertama berorientasi pada pembentukan wawasan, sedangkan yang kedua lebih berorientasi pada penguasaan detil. Yang pertama memberi efek integralitas, yang kedua memberi efek ketepatan. Idealnya seorang pekerja informasi atau pustakawan memiliki kemahiran dalam menggabungkan kedua metode berpikir tersebut supaya memiliki informasi yang komprehensif, bersifat lintas disiplin, dan generalis dengan penguasaan yang tuntas terhadap satu bidang ilmu sebagai spesialisasinya.

Ketiga, metode analisis informasi. Metode analisis informasi ada dua jenis: kualitatif dengan teknik interpretasi misalnya analisis wacana dan analisis framing, sedangkan metode yang kuantitatif biasanya memakai analisis isi. Metode kualitatif memerlukan keluasan pengetahuan atau referensi (frame of reference) serta kekayaan pengalaaman (field of experience). Sementara metode kuantitatif memerlukan ketepatan perhitungan yang biasanya menggunakan statistik. Tentu saja untuk mendapatakan hasil analisis yang integral perlu memakai pendekatan kedua metode tesebut.

Analisis informasi diperlukan untuk mendaptkan informasi yang lebih mendekati kebenaran dan ketepatan. Karena antara teks dan konteks selalu ada mediasi yang terkadang bisa membuat bias. Kata Barthes (2000) teks terdiri bukan hanya barisan kata-kata yang melepaskan pesan dari pengarangnya, tetapi suatu ruang multidimensi di mana telah dikawinkan dan dipertentangkan beberapa tulisan, tidak ada yang asli darinya. Teks adalah suatu tenunan dari kutipan, berasal dari seribu sumber budaya.

Selain harus memperhatikan pengarangnnya, dalam membaca sebuah karya, Jean Paul Sartre (2000) mengingakan pada kita bahwa teks tidak bisa lepas dari konteksnya. Suatu karya adalah anak kandung zaman. Sebuah buku punya kebenaran mutlak dalam zamannya. Buku muncul dari inter-subjektivitas, ikatan hidup nafsu amarah, kebencian atau cinta antara orang-orang yang menghasilkannya (penulis) dan orang-orang yang menerimanya (pembaca).

Keempat, inovasi. Informasi yang sudah terakumulasi kemudian dipahami dan dicerna secara objektif melalui analisis yang intergral. Informasi yang telah diurai melalui pisau analisis tersebut kemudian dibangun dan diintegrasikan atau menghubngkan bagian-bagian yang terpisah dari peristiwa atau kenyataan menjadi kesatuan yang terkorelasi secara utuh. Maka dari situlah akan melahirkan informasi atau gagasan baru yang merupakan tambahan atas informasi atau pikiran yang semula sudah ada. Itulah inovasi informasi.

Kecerdasan literasi dapat memperlancar dalam pengelolalaan pengetahuan yang pada akhirnya bisa berkontribusi untuk memperlancar pembelajaran organisasi. Pengelolaan pengetahuan adalah perihal bisnis keilmuan. Gagal mengelola pengetahuan akan menjadikan bisnis keilmuan mengalami kebangkrutan substantif. Jika ini terjadi, peradaban sebuah bangsa akan sulit menjauh dari titik nadir. Sebab, menurut Kidwell, Lide, dan Johnsson “mengelola pengetahuan pada prinsipnya adalah mengubah informasi dan aset intelektual ke dalam nilai abadi” (Muzakki, 2016). Oleh karena itu, tidak berlebihan jika kecerdasan literasi merupakan keniscayaan baik bagi individu maupaun organisasi, terutama institusi informasi.

Dengan waktu yang terbatas tidak mungkin untuk mengikuti atau membaca informasi yang tersedia. Akan tetapi dengan memiliki kecerdasan literasi kita bisa mendapatkan informasi yang mememadai. Dengan kecerdasana literasi pula, dalam konteks organisasi, sebuah perpustakaan atau pusat repositori akan mudah dalam melakukan menajemen informasi. Informasi yang masuk melalui kegiatan akusisi diproses berasarkan nalar yang kritis dan objek kemudan direkonstruksi dan akhirnya melahirkan luaran (output) berupa informasi baru yang inovatif dan bernilai.

Sepertinya hanya dengan kecedasan literasi inilah pusat informasi, perpustakaan, dan lain-lain institusi informasi akan terhindar dari kematiannya digilas oleh kemajuan teknologi informasi yang semakin akseleratif dan massif.

Masyarakat Literasi Indonesia

Literasi Informasi

Sepuluh tahun yang lalu kata “literasi” belum akrab di telinga masyarakat Indonesia. Literasi  sebuah  kata serapan dari literacy—suatu  aktivitas yang sudah lama kita lakukan—sekarang  sedang menjadi topik yang menghangat terutama di dunia pendidikan. Sustainable Development Goals (SDGs) menjadikan literasi sebagai program utama dalam mengurangi kemiskinan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) juga menjadikannya sebagai program prioritas dengan tagline “literasi untuk kesejahteraan rakyat.” Departemen pendidikan dan kebudayaan menjadikan Gerakan Literasi Sekolah mejnjadi program wajib dilaksanakan di semua satuan pendidikan.

Makna literasi dahulu hanya popular di dunia perpustakaan dan terbatas kepada literasi informasi yang berati kemampuan seseorang dalam mencari, mengelola, menggunakan, dan mengkomunikasikan kembalai informasi. Tapi sekarang sudah memasuki semua bidang sehigga literasi memiliki banyak makna, seperti pelangi atau taman yang penuh degan bunga warna-warni. Semuanya indah dan bermakna.

Ada yang memaknai literasi hanya padanan kata melek, berhubungan dengan sastra, budaya membaca, menulis, menghitung, dan lain-lain. Dari segi kedalamannya berjenjang mulai dari  literasi dasar sampai pada literasi kritis. Ada juga yang memaknai dari diemensi lain, yaitu literasi bukan hanya sekadar membaca buku tapi bagaimana menerapkan atau mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari. Literasi adalah peristiwa dialektika yang selalu aktual antara teks dan konteks atau interaksi antara buku dengan ruang dan waktu. 

“Bacalah!”   Semua perubahan—individu, bangsa, dan peradaban—diawali  dengan membaca. Dengan membaca maka pola pikir, emosi, perilaku dan akhirnya budaya berubah. Dari sejarah kita belajar bahwa orang-orang besar seluruhnya adalah kutu buku. Kita akan kesulitan mencari dalam tumpukan buku sejarah orang besar yang bukan kutu buku.  Bahkan banyak orang besar yang warna kepribadiannya tercelup oleh buku yang dibacanya. Misalnya Ghandi dan Hitler. Yang satu seorang humanis yang satu lagi seorang fasis. Warna keribadian yang sangat berjauhan, bahkan seolah antitesis. Yang satu seorang pasifis  (anti kekerasan) yang satu lagi seorang yang menggunakan kekerasan sebagai mesin kekuasaannya. Dalam biografinya Gandhi sangat dipengaruhi oleh sebuah buku yang berjudul Unto This Last karangan Ruskin, yang tidak sengaja diberikan oleh seorang teman untuk menemani dirinya dalam perjalanan.  Ia menuturkan bahwa sekali ia  mulai membacanya, buku tersebut langsung  mencengkeram dirinya. Hitler dipengaruhi oleh buku-buku  karya Charles Darwin terutama buku On the Origin of Species. 

Masih dalam konteks pentingnya membaca, sejarah nusantara menceritakan bahwa Ken Arok bisa merebut tahta dari Tunggul Ametung—dengan  kudeta—bukan  hanya mengandalkan  kekuatan militer akan tetapi juga karena dia adalah seorang literate yang berhasil menaikan statausnya dari sudra, kesatria, dan akhirnya menjadi seorang brahmana (cendekiawan) dengan cara otodidak membacai beribu-ribu naskah dalam lontar. Biografi yang terakhir saya baca adalah  biografi Elon Musk seorang industrialis kaya raya yang dijuluki Leonardo da Vinci Abad 21,  karena memiliki kebiasaan  membaca 10 jam sehari dan menamatkan dua buku tiap pekan.  Silahkan Anda deretkan nama-nama orang besar yang pernah muncul dalam sejarah dunia, maka sekali lagi Anda akan bertemu dengan para kutu buku.

Kemajuan sebuah bangsa pun sangat ditentukan  kapasitas pengetahuan warga  negaranya—sebagai  salah satu faktor utama.  Hampir semua negara maju adalah negara yang budaya bacanya bagus. Tentu saja budaya baca bukan segalanya dalam menentukan kemajuan akan tetapi ada faktor lain yang sama pentingnya misalnya faktor keadilan, geografi, dan demografi,  juga sejarah.  Sejarah imperailisme dan kolonialisme adalah sejarah invasi oleh bangsa yang memiliki pengetahuan dan teknologi yang kuat  kepada bangsa yang lemah pengatahuannya. Itu terjadi dari masa imperaliasme primitif  yang menyandarkan kepada kekuatan  moncong senjata sampai kepada imperialisme modern atau soft collonialism dengan invasi budaya, ekonomi, dan politik terutama dengan kekuatan kapital atau modal  yang notabene  hasil  dari akumulasi pengetahuan.

Timbul-tenggalamnya sebuah peadaban seiring dan seirama dengan timbul-tenggalamnya perhatian suatu bangsa terhadap ilmu pengetahuan. Yunani dahulu menjadi soko guru peradaban dunia dengan sederet filsuf yang namanya abadi sampai hari ini. Siapa yang tidak mengenal  Sokrates, Arisoteles, dan Plato? Akan tetapi tragisnya, Yunani hari ini mendapat julukan negara gagal (failed state) karena tak mampu membayar utang.  Tanah airnya para filsuf itu kini terkapar tak berdaya membayar utang.  Jelas, bangsa Yunani  tidak mengikuti atau durhaka terhadap moyangnya,  karena Yunan  tidak dikategorikan negara yang maju dalam budaya litrasinya. Bangs Yunanti tidak lagi mampu melahirkan keagungan Iliad karya Hommer atau Republik karya Plato. Setelah kematian fara filsuf itu maka mati pula kebesaran bangsanya.

Kejayaan perdabana akhirnya dipergulirkan ke Dunia Islam. Sejak abad ke-6 sampai 12 Islam menjadi pemimpin perdaban dunia. Dalam periode inilah lahir dasar-dasar ilmu modern yang sekarang dikembangkan di Barat seperti ilmu kedokteran oleh Ibnu Sina (Aviciena), Ibnu Rus (Averou), ilmu matematika oleh al-Jabbar, al-Biruni, dalam bidang sosial  kita mengenal ahli sossiologi dan sejarah Ibnu Kholdun, bidang seni, astronomi, dan lain-lain. Dalam priode ini kita dapat memebaca dalam sejarah semua ilmu itu tergali berkat budaya literasi para ulamanya. Budaya Helenial yang rasional mereka adopsi dan adaptasi kedalam  kultur berpikir Islam. Mereka menjadikan budaya literasi sebagai  jalan jihad melalui tinta—yang  lebih utama dari pada melalui pedang atau moncong senjata. Tinta ulama lebih berharga daripada darah para syuhada. Dan rata-rata mereka memperoleh kemulian keduanya.

Sejak abad ke-12 sampai abad 21 ini kembali peradaban dipimpn oleh Barat, karena mereka yang memiliki budaya baca yang bagus. Sejarah peradaban adalah catatan perjalanan budaya literasi manusia.  

Mungkin pertanyaan umum yang sering dikemukakan adalah mengapa bangsa kita tidak suka membaca? Menjawab pertanyaan ini tidaklah sederhana, misalnya hanya karena tidak ada infrastruktur, akan tetapi menyangkut masalah ideologi, politik, ekonomi, social. Banyak juga yang menyalahkan sejarah—nenek moyang kita tidak berbudaya literasi tapi budaya lisan. Nenek moyang disalah sebagai legitimasi historis karena malas membaca. Sejatinya banyak bukti sejarah yang menunjukkan bahwa  nenek moyang kita juga berbudaya literasi. I La Galigo yang terdiri dari 5000 lembar lontar adalah mahakarya putra nusantara, sebagai bukti nyata bahwa nenek moyang kita juga memiliki budaya literasi yang tidak kalah dari negara lain. Belum lagi karya yang berupa serat, babad, prasasti, dan lain-lain jejeak literasi nenek moyang. Jadi, masalahnya bukan bangsa kita tidak memiliki budaya literasi akan tetapi terletak pada kontennya. Hampir semua peninggalan literasi itu berisi pesan tentang kekuasaan (politik), moralitas (etika dan etiket), dan kesenian. Jarang sekali ditemukan dokumentasi tentang karya ilmiah.  Hal ini terjadi berkaitan dengan faktor alam yang subur makmur, tidak menuntut untuk berpikir ilmiah karena segal kebutuhan dasar manusia sudah tersedia. Berbeda dengan bangsa lain yang alamnya menuntut penduduk untuk berpikir dan bekerja keras untuk menaklukannya bila perlu keluar dari daerahnya untuk pindah dan menalkukkan atau mengkoloni daerah lain. 

Selain itu juga setiap bangsa memiliki dua sisi budaya lisan (oralitiy) dan tulisan (literacy). Jangan menganggap rendah budaya lisan, karena masih-masih memiliki kekuatan dan kelemahannya. Bahkan Plato pernah berpendapat bahwa justru budaya literasi telah membunuh ingatan manusia. Hari ini kita merasakan, dengan kemajuan budaya litersi (media) sekarang orang tidak perlu lagi banyak menghafal atau memenuhi memomorinya dengan berbagai informasi. Informasi sudah tersimpan di luar memori manusia dalam bentuk hardisk atau internet bahkan cloud computing. Dampaknya adalah manusia sangat tergantung kepada media,  memorinya sendiri kosong. Baik dudaya lisan mapun budaya tulisan diperlukan oleh manusia—tidak usah dikotomikan—yang  penting adalah isi dari pembicaraan atau tulisan. Lebih baik mana, ngobrol tentang Iptek atau membaca tulisan tentang pornografi?

Buku sebagai kekuatan budaya. Memaknai buku sebagai jendela dunia. Buku bukan hanya sekadar kumpulan kata-kata yang dijilid, akan tetapi buku merupakan dunia yang dijilid. Masa lalu, hari ini,  dan prediksi masa depan ada di dalamnya. Buku adalah memori semesta yanag merekam dialektika antara ruang dan waktu di sepanjang peradaban manusia.  Kemusnahan buku adalah kemusnahan peradaban,  tidak membaca buku adalah tanda berhentinya inovasi dan kretivitas sebagai esensi dari peradaban manusia. Bangsa yang menistakan atau tidak mengharagai buku akan dikutuk menjadi bangsa yang jumud, lemah, dan terbelakang, bahkan mungkin akan musnah dan dilupkan oleh sejarah.

Tentu saja membaca bukan hanya untuk membaca, akan tetapi informasi yang diperoleh harus bertansformasi menjai ilmu pengetahuan. Sesungguhnya kapasitas  ilmu pengetahuan inilah yang akan menjadikan seseorng atau suatu bangsa lebih unggul daripada yang lain. Negara adidaya adalah negara yang  menjunjung tinggi  supremasi ilmu pengetetahuan.  Dengan semboyan knowledge is power, sebagaimana disuarakan oleh Francis Bacon, maka  lahirlah abad pencerahan (renaissance). Dan hari ini kita menyaksikan sendiri bahwa negara-negara maju itu adalah mereka yang menguasai ilmu pengeteahuan dan teknologi (Iptek). Sulit untuk dibantah bahwa budaya literasi Iptek adalah fondasi kemajuan baik dalam skala personal, bangsa, mauapun peradaban.

Data-informasi-pengetahuan begitu sekuental prosesnya. Pengetahaun adalah informasi yang sudah diolah menjadi barang yang berguna. Jadi, apabila baru membaca itu belum menjadi pengetahuan. Setingkat lebih tinggi dari pengetahuan dadalah keibijakan (wishdom).  Identitas dan kapasitas sesorang ditentukan oleh jenis dan tingkatan informasi yang digelutinya. Bila ia berkutat dengan masalah-masalah teknis maka ia akan menjadi seorang teknisi, bila banya bekecimpung dalam pengelolaan ifnromasi maka ia akan menjadi menajer,  dan bila pengetetahuan yang menjadi perhatiannya maka ia akan menjadi seorang pemimpin atau CEO,  dan bila yang menjadi konsensnya adalah sudah meningka dalam bidang kebijakan (wishdom) atau filosofis maka dia akan menjadi seorang  guru (master), yang banyak melahirkan ide, gagasan, atau inovasi.

Buku sebagai media informasi mengalami transformasi mengikuti kemajuan teknologi.  Kini sumber informasi tidak hanya berbentuk kertas, akan tetapi beralih bentuk ke dalam elektronik atau digital.

Kini bukan hanya buku akan tetapi perpustakaan pun ada di dalam genggaman, bahkan perputakaan digital terbesar  di diunia ada di dalam  genggaman yaitu Google.  Tentu saja kemajuan media memiliki kekurangan dan kelebihannya. Antara buku konvesional dan buku digital bukan saling mematikan akan tetapi saling komplementer. Untuk mencari dan memverifikasi sebuah informasi secepat kilat  dapat dilakukan dengan bantuan internet akan tetapi untuk kedalam buku konvesional  masih tak tergantikan.

Di anatara media infomasi yang semakin variatif, nampaknya  madia mainstream terutama televisi masih  memiliki pengaruh yang besar. Teori-teori klasik tentang media massa seperti jarum hypodermis, agenda setting, dan bullet theory—yang  meangasumsikan begitu perkasanya media massa dalam mempengaruhi audiens—masih  relevan.  Maka masih pantas juga bila media massa  dijuluki kekuatan keempat setelah legislatif,eksektufit, dan yudikatif (trias politika). Kini muncul kekuatan  kelima berupa media sosial yang sangat sulit dikontrol oleh kekuatan negara. Media sosial yang popular seperti facebook, whatapp, dan twitter mampu untuk menggerakaan revolusi sosial seperti  peristiwa Arab Spring berapa tahun yang lalu yang kemudian diikuti oleh negara lain. Saking besarnya pengaruh yang ditimbulkan oleh media massa, Marshall McLuhan mengatakan bahwa medianya saja sudah merupakan pesan tersendiri—the medium is the message.

Sekarang ini literasi media sedang digalakan terkait dengan maraknya hoaks di masyarakat. Sebenarnya untuk menganalisis sebuah berita itu hoaks atau bukan bisa dibantu dengan formulasi komuikasi politik dari Harold D.Laswell: who, says what, in which channel, to whom, with what effect. Formulasi ini menggambarkan alur komunikasi yang setiap komponennya harus dianalisis atau diwaspadai: Who (analisis komunikator), says what (analisis pesan), in which channel (analisis media), to whom (analisis khalayak),  with what effect (analisis efek). Menurut saya ini adalah formulasi penangkal hoaks yang paling relevan hingga saat ini. Apabila kita menerima sebuah berita atau pesan maka yang harus diperhatikan adalah siapa yang berbicara/mengirimnya, berbica apa,  melalui saluran atau media apa, kepada siapa pesan itu dimaksudkan, dan pengaruh apa yang dia inginkan pada khalayak atau pendengarnya. Sebagai contoh “who”, komponen pertama. Who dalam bentuk personal sangat dipengaruhi oleh kredibilitas, integritas, dan  kapasitas. Who dalam bentuk lembaga/organisasi sangat dipengaruhi oleh kepentingan (politik, ekonomi, ideologi) pemilik medianya. Begitu pun komponen yang lainnya. Intinya tidak ada pesan yang netral atau bebas nilai,  kita harus pandai menghubungkan antara teks dengan konteks. 

Indikator dari penguasaan ilmu pengatahuan dan teknologi adalah tulisan dan publikasi. Kapasitas seseorang bisa dilihat  dari tulisannya sebagai representasi dari akumulasi kekuatan intelektual (frame of reference)  dan pengalaman (field of experience).  Ilmu pengetahuan tanpa ditulis atau publikasi  akan mudah untuk dilupkan, oleh karenanya hanya ada dua pilihan: publish or perish, menulis atau dilupakan/musnah. Kata pepatah yang lain, ikatlah ilmu dengan menuliskannya. Bab ini juga akan memberikan pemahaman yang lebih luas tentang arti sebuah tulisan—seperti  yang pernah diucapkan oleh Pramoedya Ananta Toer, “orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

Akan tetapi tidak semua orang menulis dengan tujuan mulia untuk pewarian peradaban. Sekarang ini banyak yang menulis karena tuntutan jabatan. Karena indikator yang paling nyata dari kinerja seorang pejabatan fungsional adalah tulisan, apakah ia seorang profesor, peneliti, dosen, guru, pustakawan, dan ratusan jabatan fungsioanl lainnya yang telah dikategorisasi pemerintah. Menulis hanya untuk mendaptkan angka kredit supaya jabatan fungsionalnya tidak mati dan yang terpenting adalah tunjangannya tidak berhenti. Jadi,  publish or perish yang sebener-benarnya ada di jabatan fungsional ini, karena kalau tidak pusblish atau menulis maka tunjangan  akan perish yang akhirnya meringis atau nangis. Menulis bukan untuk supaya namanya abadi akan tetapi yang paling utama adalah tunjangan tidak mati. Maka tidak heran apabila kita sering mendengar istilah devaluasi profesor, impotensi inovasi, dan maraknya plagiasi.

Tuntutan angka kredit ini ditangkap sebagai peluang  oleh penerbit yang hanya memikirkan untung tanpa memperhatikan kualitas, maka dibuatlah media publikasi berupa jurnal aba-abal atau jurnal predator. Jurnal aba-abal ini memuat tulisan-tulisan para pemburu angka kredit tanpa melihat kualitasnya, yang penting asal berani bayar. Indeks Scopus pun ternyata sangat mudah untuk direkayasa sehingga ada peneliti yang “berpresasi” tingkat nasional akan tetapi kemudian diberi sanksi karena ternyata memakai tipu-tipu ini.  Itu semua terjadi  karena budaya literasi yang lemah yang terjadi secara massif di seluruh bidang dan tingkatan sosial. 

Sepuluh tahun yang lalu kata “literasi” belum akrab di telinga masyarakat Indonesia. Literasi  sebuah  kata serapan dari literacy—suatu  aktivitas yang sudah lama kita lakukan—sekarang  sedang menjadi topik yang menghangat terutama di dunia pendidikan. Sustainable Development Goals (SDGs) menjadikan literasi sebagai program utama dalam mengurangi kemiskinan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) juga menjadikannya sebagai program prioritas dengan tagline “literasi untuk kesejahteraan rakyat.” Departemen pendidikan dan kebudayaan menjadikan Gerakan Literasi Sekolah mejnjadi program wajib dilaksanakan di semua satuan pendidikan.

Makna literasi dahulu hanya popular di dunia perpustakaan dan terbatas kepada literasi informasi yang berati kemampuan seseorang dalam mencari, mengelola, menggunakan, dan mengkomunikasikan kembalai informasi. Tapi sekarang sudah memasuki semua bidang sehigga literasi memiliki banyak makna, seperti pelangi atau taman yang penuh degan bunga warna-warni. Semuanya indah dan bermakna.

Ada yang memaknai literasi hanya padanan kata melek, berhubungan dengan sastra, budaya membaca, menulis, menghitung, dan lain-lain. Dari segi kedalamannya berjenjang mulai dari  literasi dasar sampai pada literasi kritis. Ada juga yang memaknai dari diemensi lain, yaitu literasi bukan hanya sekadar membaca buku tapi bagaimana menerapkan atau mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari. Literasi adalah peristiwa dialektika yang selalu aktual antara teks dan konteks atau interaksi antara buku dengan ruang dan waktu. 

“Bacalah!”   Semua perubahan—individu, bangsa, dan peradaban—diawali  dengan membaca. Dengan membaca maka pola pikir, emosi, perilaku dan akhirnya budaya berubah. Dari sejarah kita belajar bahwa orang-orang besar seluruhnya adalah kutu buku. Kita akan kesulitan mencari dalam tumpukan buku sejarah orang besar yang bukan kutu buku.  Bahkan banyak orang besar yang warna kepribadiannya tercelup oleh buku yang dibacanya. Misalnya Ghandi dan Hitler. Yang satu seorang humanis yang satu lagi seorang fasis. Warna keribadian yang sangat berjauhan, bahkan seolah antitesis. Yang satu seorang pasifis  (anti kekerasan) yang satu lagi seorang yang menggunakan kekerasan sebagai mesin kekuasaannya. Dalam biografinya Gandhi sangat dipengaruhi oleh sebuah buku yang berjudul Unto This Last karangan Ruskin, yang tidak sengaja diberikan oleh seorang teman untuk menemani dirinya dalam perjalanan.  Ia menuturkan bahwa sekali ia  mulai membacanya, buku tersebut langsung  mencengkeram dirinya. Hitler dipengaruhi oleh buku-buku  karya Charles Darwin terutama buku On the Origin of Species. 

Masih dalam konteks pentingnya membaca, sejarah nusantara menceritakan bahwa Ken Arok bisa merebut tahta dari Tunggul Ametung—dengan  kudeta—bukan  hanya mengandalkan  kekuatan militer akan tetapi juga karena dia adalah seorang literate yang berhasil menaikan statausnya dari sudra, kesatria, dan akhirnya menjadi seorang brahmana (cendekiawan) dengan cara otodidak membacai beribu-ribu naskah dalam lontar. Biografi yang terakhir saya baca adalah  biografi Elon Musk seorang industrialis kaya raya yang dijuluki Leonardo da Vinci Abad 21,  karena memiliki kebiasaan  membaca 10 jam sehari dan menamatkan dua buku tiap pekan.  Silahkan Anda deretkan nama-nama orang besar yang pernah muncul dalam sejarah dunia, maka sekali lagi Anda akan bertemu dengan para kutu buku.

Kemajuan sebuah bangsa pun sangat ditentukan  kapasitas pengetahuan warga  negaranya—sebagai  salah satu faktor utama.  Hampir semua negara maju adalah negara yang budaya bacanya bagus. Tentu saja budaya baca bukan segalanya dalam menentukan kemajuan akan tetapi ada faktor lain yang sama pentingnya misalnya faktor keadilan, geografi, dan demografi,  juga sejarah.  Sejarah imperailisme dan kolonialisme adalah sejarah invasi oleh bangsa yang memiliki pengetahuan dan teknologi yang kuat  kepada bangsa yang lemah pengatahuannya. Itu terjadi dari masa imperaliasme primitif  yang menyandarkan kepada kekuatan  moncong senjata sampai kepada imperialisme modern atau soft collonialism dengan invasi budaya, ekonomi, dan politik terutama dengan kekuatan kapital atau modal  yang notabene  hasil  dari akumulasi pengetahuan.

Timbul-tenggalamnya sebuah peadaban seiring dan seirama dengan timbul-tenggalamnya perhatian suatu bangsa terhadap ilmu pengetahuan. Yunani dahulu menjadi soko guru peradaban dunia dengan sederet filsuf yang namanya abadi sampai hari ini. Siapa yang tidak mengenal  Sokrates, Arisoteles, dan Plato? Akan tetapi tragisnya, Yunani hari ini mendapat julukan negara gagal (failed state) karena tak mampu membayar utang.  Tanah airnya para filsuf itu kini terkapar tak berdaya membayar utang.  Jelas, bangsa Yunani  tidak mengikuti atau durhaka terhadap moyangnya,  karena Yunan  tidak dikategorikan negara yang maju dalam budaya litrasinya. Bangs Yunanti tidak lagi mampu melahirkan keagungan Iliad karya Hommer atau Republik karya Plato. Setelah kematian fara filsuf itu maka mati pula kebesaran bangsanya.

Kejayaan perdabana akhirnya dipergulirkan ke Dunia Islam. Sejak abad ke-6 sampai 12 Islam menjadi pemimpin perdaban dunia. Dalam periode inilah lahir dasar-dasar ilmu modern yang sekarang dikembangkan di Barat seperti ilmu kedokteran oleh Ibnu Sina (Aviciena), Ibnu Rus (Averou), ilmu matematika oleh al-Jabbar, al-Biruni, dalam bidang sosial  kita mengenal ahli sossiologi dan sejarah Ibnu Kholdun, bidang seni, astronomi, dan lain-lain. Dalam priode ini kita dapat memebaca dalam sejarah semua ilmu itu tergali berkat budaya literasi para ulamanya. Budaya Helenial yang rasional mereka adopsi dan adaptasi kedalam  kultur berpikir Islam. Mereka menjadikan budaya literasi sebagai  jalan jihad melalui tinta—yang  lebih utama dari pada melalui pedang atau moncong senjata. Tinta ulama lebih berharga daripada darah para syuhada. Dan rata-rata mereka memperoleh kemulian keduanya.

Sejak abad ke-12 sampai abad 21 ini kembali peradaban dipimpn oleh Barat, karena mereka yang memiliki budaya baca yang bagus. Sejarah peradaban adalah catatan perjalanan budaya literasi manusia.  

Mungkin pertanyaan umum yang sering dikemukakan adalah mengapa bangsa kita tidak suka membaca? Menjawab pertanyaan ini tidaklah sederhana, misalnya hanya karena tidak ada infrastruktur, akan tetapi menyangkut masalah ideologi, politik, ekonomi, social. Banyak juga yang menyalahkan sejarah—nenek moyang kita tidak berbudaya literasi tapi budaya lisan. Nenek moyang disalah sebagai legitimasi historis karena malas membaca. Sejatinya banyak bukti sejarah yang menunjukkan bahwa  nenek moyang kita juga berbudaya literasi. I La Galigo yang terdiri dari 5000 lembar lontar adalah mahakarya putra nusantara, sebagai bukti nyata bahwa nenek moyang kita juga memiliki budaya literasi yang tidak kalah dari negara lain. Belum lagi karya yang berupa serat, babad, prasasti, dan lain-lain jejeak literasi nenek moyang. Jadi, masalahnya bukan bangsa kita tidak memiliki budaya literasi akan tetapi terletak pada kontennya. Hampir semua peninggalan literasi itu berisi pesan tentang kekuasaan (politik), moralitas (etika dan etiket), dan kesenian. Jarang sekali ditemukan dokumentasi tentang karya ilmiah.  Hal ini terjadi berkaitan dengan faktor alam yang subur makmur, tidak menuntut untuk berpikir ilmiah karena segal kebutuhan dasar manusia sudah tersedia. Berbeda dengan bangsa lain yang alamnya menuntut penduduk untuk berpikir dan bekerja keras untuk menaklukannya bila perlu keluar dari daerahnya untuk pindah dan menalkukkan atau mengkoloni daerah lain. 

Selain itu juga setiap bangsa memiliki dua sisi budaya lisan (oralitiy) dan tulisan (literacy). Jangan menganggap rendah budaya lisan, karena masih-masih memiliki kekuatan dan kelemahannya. Bahkan Plato pernah berpendapat bahwa justru budaya literasi telah membunuh ingatan manusia. Hari ini kita merasakan, dengan kemajuan budaya litersi (media) sekarang orang tidak perlu lagi banyak menghafal atau memenuhi memomorinya dengan berbagai informasi. Informasi sudah tersimpan di luar memori manusia dalam bentuk hardisk atau internet bahkan cloud computing. Dampaknya adalah manusia sangat tergantung kepada media,  memorinya sendiri kosong. Baik dudaya lisan mapun budaya tulisan diperlukan oleh manusia—tidak usah dikotomikan—yang  penting adalah isi dari pembicaraan atau tulisan. Lebih baik mana, ngobrol tentang Iptek atau membaca tulisan tentang pornografi?

Buku sebagai kekuatan budaya. Memaknai buku sebagai jendela dunia. Buku bukan hanya sekadar kumpulan kata-kata yang dijilid, akan tetapi buku merupakan dunia yang dijilid. Masa lalu, hari ini,  dan prediksi masa depan ada di dalamnya. Buku adalah memori semesta yanag merekam dialektika antara ruang dan waktu di sepanjang peradaban manusia.  Kemusnahan buku adalah kemusnahan peradaban,  tidak membaca buku adalah tanda berhentinya inovasi dan kretivitas sebagai esensi dari peradaban manusia. Bangsa yang menistakan atau tidak mengharagai buku akan dikutuk menjadi bangsa yang jumud, lemah, dan terbelakang, bahkan mungkin akan musnah dan dilupkan oleh sejarah.

Tentu saja membaca bukan hanya untuk membaca, akan tetapi informasi yang diperoleh harus bertansformasi menjai ilmu pengetahuan. Sesungguhnya kapasitas  ilmu pengetahuan inilah yang akan menjadikan seseorng atau suatu bangsa lebih unggul daripada yang lain. Negara adidaya adalah negara yang  menjunjung tinggi  supremasi ilmu pengetetahuan.  Dengan semboyan knowledge is power, sebagaimana disuarakan oleh Francis Bacon, maka  lahirlah abad pencerahan (renaissance). Dan hari ini kita menyaksikan sendiri bahwa negara-negara maju itu adalah mereka yang menguasai ilmu pengeteahuan dan teknologi (Iptek). Sulit untuk dibantah bahwa budaya literasi Iptek adalah fondasi kemajuan baik dalam skala personal, bangsa, mauapun peradaban.

Data-informasi-pengetahuan begitu sekuental prosesnya. Pengetahaun adalah informasi yang sudah diolah menjadi barang yang berguna. Jadi, apabila baru membaca itu belum menjadi pengetahuan. Setingkat lebih tinggi dari pengetahuan dadalah keibijakan (wishdom).  Identitas dan kapasitas sesorang ditentukan oleh jenis dan tingkatan informasi yang digelutinya. Bila ia berkutat dengan masalah-masalah teknis maka ia akan menjadi seorang teknisi, bila banya bekecimpung dalam pengelolaan ifnromasi maka ia akan menjadi menajer,  dan bila pengetetahuan yang menjadi perhatiannya maka ia akan menjadi seorang pemimpin atau CEO,  dan bila yang menjadi konsensnya adalah sudah meningka dalam bidang kebijakan (wishdom) atau filosofis maka dia akan menjadi seorang  guru (master), yang banyak melahirkan ide, gagasan, atau inovasi.

Buku sebagai media informasi mengalami transformasi mengikuti kemajuan teknologi.  Kini sumber informasi tidak hanya berbentuk kertas, akan tetapi beralih bentuk ke dalam elektronik atau digital.

Kini bukan hanya buku akan tetapi perpustakaan pun ada di dalam genggaman, bahkan perputakaan digital terbesar  di diunia ada di dalam  genggaman yaitu Google.  Tentu saja kemajuan media memiliki kekurangan dan kelebihannya. Antara buku konvesional dan buku digital bukan saling mematikan akan tetapi saling komplementer. Untuk mencari dan memverifikasi sebuah informasi secepat kilat  dapat dilakukan dengan bantuan internet akan tetapi untuk kedalam buku konvesional  masih tak tergantikan.

Di anatara media infomasi yang semakin variatif, nampaknya  madia mainstream terutama televisi masih  memiliki pengaruh yang besar. Teori-teori klasik tentang media massa seperti jarum hypodermis, agenda setting, dan bullet theory—yang  meangasumsikan begitu perkasanya media massa dalam mempengaruhi audiens—masih  relevan.  Maka masih pantas juga bila media massa  dijuluki kekuatan keempat setelah legislatif,eksektufit, dan yudikatif (trias politika). Kini muncul kekuatan  kelima berupa media sosial yang sangat sulit dikontrol oleh kekuatan negara. Media sosial yang popular seperti facebook, whatapp, dan twitter mampu untuk menggerakaan revolusi sosial seperti  peristiwa Arab Spring berapa tahun yang lalu yang kemudian diikuti oleh negara lain. Saking besarnya pengaruh yang ditimbulkan oleh media massa, Marshall McLuhan mengatakan bahwa medianya saja sudah merupakan pesan tersendiri—the medium is the message.

Sekarang ini literasi media sedang digalakan terkait dengan maraknya hoaks di masyarakat. Sebenarnya untuk menganalisis sebuah berita itu hoaks atau bukan bisa dibantu dengan formulasi komuikasi politik dari Harold D.Laswell: who, says what, in which channel, to whom, with what effect. Formulasi ini menggambarkan alur komunikasi yang setiap komponennya harus dianalisis atau diwaspadai: Who (analisis komunikator), says what (analisis pesan), in which channel (analisis media), to whom (analisis khalayak),  with what effect (analisis efek). Menurut saya ini adalah formulasi penangkal hoaks yang paling relevan hingga saat ini. Apabila kita menerima sebuah berita atau pesan maka yang harus diperhatikan adalah siapa yang berbicara/mengirimnya, berbica apa,  melalui saluran atau media apa, kepada siapa pesan itu dimaksudkan, dan pengaruh apa yang dia inginkan pada khalayak atau pendengarnya. Sebagai contoh “who”, komponen pertama. Who dalam bentuk personal sangat dipengaruhi oleh kredibilitas, integritas, dan  kapasitas. Who dalam bentuk lembaga/organisasi sangat dipengaruhi oleh kepentingan (politik, ekonomi, ideologi) pemilik medianya. Begitu pun komponen yang lainnya. Intinya tidak ada pesan yang netral atau bebas nilai,  kita harus pandai menghubungkan antara teks dengan konteks. 

Indikator dari penguasaan ilmu pengatahuan dan teknologi adalah tulisan dan publikasi. Kapasitas seseorang bisa dilihat  dari tulisannya sebagai representasi dari akumulasi kekuatan intelektual (frame of reference)  dan pengalaman (field of experience).  Ilmu pengetahuan tanpa ditulis atau publikasi  akan mudah untuk dilupkan, oleh karenanya hanya ada dua pilihan: publish or perish, menulis atau dilupakan/musnah. Kata pepatah yang lain, ikatlah ilmu dengan menuliskannya. Bab ini juga akan memberikan pemahaman yang lebih luas tentang arti sebuah tulisan—seperti  yang pernah diucapkan oleh Pramoedya Ananta Toer, “orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

Akan tetapi tidak semua orang menulis dengan tujuan mulia untuk pewarian peradaban. Sekarang ini banyak yang menulis karena tuntutan jabatan. Karena indikator yang paling nyata dari kinerja seorang pejabatan fungsional adalah tulisan, apakah ia seorang profesor, peneliti, dosen, guru, pustakawan, dan ratusan jabatan fungsioanl lainnya yang telah dikategorisasi pemerintah. Menulis hanya untuk mendaptkan angka kredit supaya jabatan fungsionalnya tidak mati dan yang terpenting adalah tunjangannya tidak berhenti. Jadi,  publish or perish yang sebener-benarnya ada di jabatan fungsional ini, karena kalau tidak pusblish atau menulis maka tunjangan  akan perish yang akhirnya meringis atau nangis. Menulis bukan untuk supaya namanya abadi akan tetapi yang paling utama adalah tunjangan tidak mati. Maka tidak heran apabila kita sering mendengar istilah devaluasi profesor, impotensi inovasi, dan maraknya plagiasi.

Tuntutan angka kredit ini ditangkap sebagai peluang  oleh penerbit yang hanya memikirkan untung tanpa memperhatikan kualitas, maka dibuatlah media publikasi berupa jurnal aba-abal atau jurnal predator. Jurnal aba-abal ini memuat tulisan-tulisan para pemburu angka kredit tanpa melihat kualitasnya, yang penting asal berani bayar. Indeks Scopus pun ternyata sangat mudah untuk direkayasa sehingga ada peneliti yang “berpresasi” tingkat nasional akan tetapi kemudian diberi sanksi karena ternyata memakai tipu-tipu ini.  Itu semua terjadi  karena budaya literasi yang lemah yang terjadi secara massif di seluruh bidang dan tingkatan sosial. 

Sepuluh tahun yang lalu kata “literasi” belum akrab di telinga masyarakat Indonesia. Literasi  sebuah  kata serapan dari literacy—suatu  aktivitas yang sudah lama kita lakukan—sekarang  sedang menjadi topik yang menghangat terutama di dunia pendidikan. Sustainable Development Goals (SDGs) menjadikan literasi sebagai program utama dalam mengurangi kemiskinan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) juga menjadikannya sebagai program prioritas dengan tagline “literasi untuk kesejahteraan rakyat.” Departemen pendidikan dan kebudayaan menjadikan Gerakan Literasi Sekolah mejnjadi program wajib dilaksanakan di semua satuan pendidikan.

Makna literasi dahulu hanya popular di dunia perpustakaan dan terbatas kepada literasi informasi yang berati kemampuan seseorang dalam mencari, mengelola, menggunakan, dan mengkomunikasikan kembalai informasi. Tapi sekarang sudah memasuki semua bidang sehigga literasi memiliki banyak makna, seperti pelangi atau taman yang penuh degan bunga warna-warni. Semuanya indah dan bermakna.

Ada yang memaknai literasi hanya padanan kata melek, berhubungan dengan sastra, budaya membaca, menulis, menghitung, dan lain-lain. Dari segi kedalamannya berjenjang mulai dari  literasi dasar sampai pada literasi kritis. Ada juga yang memaknai dari diemensi lain, yaitu literasi bukan hanya sekadar membaca buku tapi bagaimana menerapkan atau mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari. Literasi adalah peristiwa dialektika yang selalu aktual antara teks dan konteks atau interaksi antara buku dengan ruang dan waktu. 

“Bacalah!”   Semua perubahan—individu, bangsa, dan peradaban—diawali  dengan membaca. Dengan membaca maka pola pikir, emosi, perilaku dan akhirnya budaya berubah. Dari sejarah kita belajar bahwa orang-orang besar seluruhnya adalah kutu buku. Kita akan kesulitan mencari dalam tumpukan buku sejarah orang besar yang bukan kutu buku.  Bahkan banyak orang besar yang warna kepribadiannya tercelup oleh buku yang dibacanya. Misalnya Ghandi dan Hitler. Yang satu seorang humanis yang satu lagi seorang fasis. Warna keribadian yang sangat berjauhan, bahkan seolah antitesis. Yang satu seorang pasifis  (anti kekerasan) yang satu lagi seorang yang menggunakan kekerasan sebagai mesin kekuasaannya. Dalam biografinya Gandhi sangat dipengaruhi oleh sebuah buku yang berjudul Unto This Last karangan Ruskin, yang tidak sengaja diberikan oleh seorang teman untuk menemani dirinya dalam perjalanan.  Ia menuturkan bahwa sekali ia  mulai membacanya, buku tersebut langsung  mencengkeram dirinya. Hitler dipengaruhi oleh buku-buku  karya Charles Darwin terutama buku On the Origin of Species. 

Masih dalam konteks pentingnya membaca, sejarah nusantara menceritakan bahwa Ken Arok bisa merebut tahta dari Tunggul Ametung—dengan  kudeta—bukan  hanya mengandalkan  kekuatan militer akan tetapi juga karena dia adalah seorang literate yang berhasil menaikan statausnya dari sudra, kesatria, dan akhirnya menjadi seorang brahmana (cendekiawan) dengan cara otodidak membacai beribu-ribu naskah dalam lontar. Biografi yang terakhir saya baca adalah  biografi Elon Musk seorang industrialis kaya raya yang dijuluki Leonardo da Vinci Abad 21,  karena memiliki kebiasaan  membaca 10 jam sehari dan menamatkan dua buku tiap pekan.  Silahkan Anda deretkan nama-nama orang besar yang pernah muncul dalam sejarah dunia, maka sekali lagi Anda akan bertemu dengan para kutu buku.

Kemajuan sebuah bangsa pun sangat ditentukan  kapasitas pengetahuan warga  negaranya—sebagai  salah satu faktor utama.  Hampir semua negara maju adalah negara yang budaya bacanya bagus. Tentu saja budaya baca bukan segalanya dalam menentukan kemajuan akan tetapi ada faktor lain yang sama pentingnya misalnya faktor keadilan, geografi, dan demografi,  juga sejarah.  Sejarah imperailisme dan kolonialisme adalah sejarah invasi oleh bangsa yang memiliki pengetahuan dan teknologi yang kuat  kepada bangsa yang lemah pengatahuannya. Itu terjadi dari masa imperaliasme primitif  yang menyandarkan kepada kekuatan  moncong senjata sampai kepada imperialisme modern atau soft collonialism dengan invasi budaya, ekonomi, dan politik terutama dengan kekuatan kapital atau modal  yang notabene  hasil  dari akumulasi pengetahuan.

Timbul-tenggalamnya sebuah peadaban seiring dan seirama dengan timbul-tenggalamnya perhatian suatu bangsa terhadap ilmu pengetahuan. Yunani dahulu menjadi soko guru peradaban dunia dengan sederet filsuf yang namanya abadi sampai hari ini. Siapa yang tidak mengenal  Sokrates, Arisoteles, dan Plato? Akan tetapi tragisnya, Yunani hari ini mendapat julukan negara gagal (failed state) karena tak mampu membayar utang.  Tanah airnya para filsuf itu kini terkapar tak berdaya membayar utang.  Jelas, bangsa Yunani  tidak mengikuti atau durhaka terhadap moyangnya,  karena Yunan  tidak dikategorikan negara yang maju dalam budaya litrasinya. Bangs Yunanti tidak lagi mampu melahirkan keagungan Iliad karya Hommer atau Republik karya Plato. Setelah kematian fara filsuf itu maka mati pula kebesaran bangsanya.

Kejayaan perdabana akhirnya dipergulirkan ke Dunia Islam. Sejak abad ke-6 sampai 12 Islam menjadi pemimpin perdaban dunia. Dalam periode inilah lahir dasar-dasar ilmu modern yang sekarang dikembangkan di Barat seperti ilmu kedokteran oleh Ibnu Sina (Aviciena), Ibnu Rus (Averou), ilmu matematika oleh al-Jabbar, al-Biruni, dalam bidang sosial  kita mengenal ahli sossiologi dan sejarah Ibnu Kholdun, bidang seni, astronomi, dan lain-lain. Dalam priode ini kita dapat memebaca dalam sejarah semua ilmu itu tergali berkat budaya literasi para ulamanya. Budaya Helenial yang rasional mereka adopsi dan adaptasi kedalam  kultur berpikir Islam. Mereka menjadikan budaya literasi sebagai  jalan jihad melalui tinta—yang  lebih utama dari pada melalui pedang atau moncong senjata. Tinta ulama lebih berharga daripada darah para syuhada. Dan rata-rata mereka memperoleh kemulian keduanya.

Sejak abad ke-12 sampai abad 21 ini kembali peradaban dipimpn oleh Barat, karena mereka yang memiliki budaya baca yang bagus. Sejarah peradaban adalah catatan perjalanan budaya literasi manusia.  

Mungkin pertanyaan umum yang sering dikemukakan adalah mengapa bangsa kita tidak suka membaca? Menjawab pertanyaan ini tidaklah sederhana, misalnya hanya karena tidak ada infrastruktur, akan tetapi menyangkut masalah ideologi, politik, ekonomi, social. Banyak juga yang menyalahkan sejarah—nenek moyang kita tidak berbudaya literasi tapi budaya lisan. Nenek moyang disalah sebagai legitimasi historis karena malas membaca. Sejatinya banyak bukti sejarah yang menunjukkan bahwa  nenek moyang kita juga berbudaya literasi. I La Galigo yang terdiri dari 5000 lembar lontar adalah mahakarya putra nusantara, sebagai bukti nyata bahwa nenek moyang kita juga memiliki budaya literasi yang tidak kalah dari negara lain. Belum lagi karya yang berupa serat, babad, prasasti, dan lain-lain jejeak literasi nenek moyang. Jadi, masalahnya bukan bangsa kita tidak memiliki budaya literasi akan tetapi terletak pada kontennya. Hampir semua peninggalan literasi itu berisi pesan tentang kekuasaan (politik), moralitas (etika dan etiket), dan kesenian. Jarang sekali ditemukan dokumentasi tentang karya ilmiah.  Hal ini terjadi berkaitan dengan faktor alam yang subur makmur, tidak menuntut untuk berpikir ilmiah karena segal kebutuhan dasar manusia sudah tersedia. Berbeda dengan bangsa lain yang alamnya menuntut penduduk untuk berpikir dan bekerja keras untuk menaklukannya bila perlu keluar dari daerahnya untuk pindah dan menalkukkan atau mengkoloni daerah lain. 

Selain itu juga setiap bangsa memiliki dua sisi budaya lisan (oralitiy) dan tulisan (literacy). Jangan menganggap rendah budaya lisan, karena masih-masih memiliki kekuatan dan kelemahannya. Bahkan Plato pernah berpendapat bahwa justru budaya literasi telah membunuh ingatan manusia. Hari ini kita merasakan, dengan kemajuan budaya litersi (media) sekarang orang tidak perlu lagi banyak menghafal atau memenuhi memomorinya dengan berbagai informasi. Informasi sudah tersimpan di luar memori manusia dalam bentuk hardisk atau internet bahkan cloud computing. Dampaknya adalah manusia sangat tergantung kepada media,  memorinya sendiri kosong. Baik dudaya lisan mapun budaya tulisan diperlukan oleh manusia—tidak usah dikotomikan—yang  penting adalah isi dari pembicaraan atau tulisan. Lebih baik mana, ngobrol tentang Iptek atau membaca tulisan tentang pornografi?

Buku sebagai kekuatan budaya. Memaknai buku sebagai jendela dunia. Buku bukan hanya sekadar kumpulan kata-kata yang dijilid, akan tetapi buku merupakan dunia yang dijilid. Masa lalu, hari ini,  dan prediksi masa depan ada di dalamnya. Buku adalah memori semesta yanag merekam dialektika antara ruang dan waktu di sepanjang peradaban manusia.  Kemusnahan buku adalah kemusnahan peradaban,  tidak membaca buku adalah tanda berhentinya inovasi dan kretivitas sebagai esensi dari peradaban manusia. Bangsa yang menistakan atau tidak mengharagai buku akan dikutuk menjadi bangsa yang jumud, lemah, dan terbelakang, bahkan mungkin akan musnah dan dilupkan oleh sejarah.

Tentu saja membaca bukan hanya untuk membaca, akan tetapi informasi yang diperoleh harus bertansformasi menjai ilmu pengetahuan. Sesungguhnya kapasitas  ilmu pengetahuan inilah yang akan menjadikan seseorng atau suatu bangsa lebih unggul daripada yang lain. Negara adidaya adalah negara yang  menjunjung tinggi  supremasi ilmu pengetetahuan.  Dengan semboyan knowledge is power, sebagaimana disuarakan oleh Francis Bacon, maka  lahirlah abad pencerahan (renaissance). Dan hari ini kita menyaksikan sendiri bahwa negara-negara maju itu adalah mereka yang menguasai ilmu pengeteahuan dan teknologi (Iptek). Sulit untuk dibantah bahwa budaya literasi Iptek adalah fondasi kemajuan baik dalam skala personal, bangsa, mauapun peradaban.

Data-informasi-pengetahuan begitu sekuental prosesnya. Pengetahaun adalah informasi yang sudah diolah menjadi barang yang berguna. Jadi, apabila baru membaca itu belum menjadi pengetahuan. Setingkat lebih tinggi dari pengetahuan dadalah keibijakan (wishdom).  Identitas dan kapasitas sesorang ditentukan oleh jenis dan tingkatan informasi yang digelutinya. Bila ia berkutat dengan masalah-masalah teknis maka ia akan menjadi seorang teknisi, bila banya bekecimpung dalam pengelolaan ifnromasi maka ia akan menjadi menajer,  dan bila pengetetahuan yang menjadi perhatiannya maka ia akan menjadi seorang pemimpin atau CEO,  dan bila yang menjadi konsensnya adalah sudah meningka dalam bidang kebijakan (wishdom) atau filosofis maka dia akan menjadi seorang  guru (master), yang banyak melahirkan ide, gagasan, atau inovasi.

Buku sebagai media informasi mengalami transformasi mengikuti kemajuan teknologi.  Kini sumber informasi tidak hanya berbentuk kertas, akan tetapi beralih bentuk ke dalam elektronik atau digital.

Kini bukan hanya buku akan tetapi perpustakaan pun ada di dalam genggaman, bahkan perputakaan digital terbesar  di diunia ada di dalam  genggaman yaitu Google.  Tentu saja kemajuan media memiliki kekurangan dan kelebihannya. Antara buku konvesional dan buku digital bukan saling mematikan akan tetapi saling komplementer. Untuk mencari dan memverifikasi sebuah informasi secepat kilat  dapat dilakukan dengan bantuan internet akan tetapi untuk kedalam buku konvesional  masih tak tergantikan.

Di anatara media infomasi yang semakin variatif, nampaknya  madia mainstream terutama televisi masih  memiliki pengaruh yang besar. Teori-teori klasik tentang media massa seperti jarum hypodermis, agenda setting, dan bullet theory—yang  meangasumsikan begitu perkasanya media massa dalam mempengaruhi audiens—masih  relevan.  Maka masih pantas juga bila media massa  dijuluki kekuatan keempat setelah legislatif,eksektufit, dan yudikatif (trias politika). Kini muncul kekuatan  kelima berupa media sosial yang sangat sulit dikontrol oleh kekuatan negara. Media sosial yang popular seperti facebook, whatapp, dan twitter mampu untuk menggerakaan revolusi sosial seperti  peristiwa Arab Spring berapa tahun yang lalu yang kemudian diikuti oleh negara lain. Saking besarnya pengaruh yang ditimbulkan oleh media massa, Marshall McLuhan mengatakan bahwa medianya saja sudah merupakan pesan tersendiri—the medium is the message.

Sekarang ini literasi media sedang digalakan terkait dengan maraknya hoaks di masyarakat. Sebenarnya untuk menganalisis sebuah berita itu hoaks atau bukan bisa dibantu dengan formulasi komuikasi politik dari Harold D.Laswell: who, says what, in which channel, to whom, with what effect. Formulasi ini menggambarkan alur komunikasi yang setiap komponennya harus dianalisis atau diwaspadai: Who (analisis komunikator), says what (analisis pesan), in which channel (analisis media), to whom (analisis khalayak),  with what effect (analisis efek). Menurut saya ini adalah formulasi penangkal hoaks yang paling relevan hingga saat ini. Apabila kita menerima sebuah berita atau pesan maka yang harus diperhatikan adalah siapa yang berbicara/mengirimnya, berbica apa,  melalui saluran atau media apa, kepada siapa pesan itu dimaksudkan, dan pengaruh apa yang dia inginkan pada khalayak atau pendengarnya. Sebagai contoh “who”, komponen pertama. Who dalam bentuk personal sangat dipengaruhi oleh kredibilitas, integritas, dan  kapasitas. Who dalam bentuk lembaga/organisasi sangat dipengaruhi oleh kepentingan (politik, ekonomi, ideologi) pemilik medianya. Begitu pun komponen yang lainnya. Intinya tidak ada pesan yang netral atau bebas nilai,  kita harus pandai menghubungkan antara teks dengan konteks. 

Indikator dari penguasaan ilmu pengatahuan dan teknologi adalah tulisan dan publikasi. Kapasitas seseorang bisa dilihat  dari tulisannya sebagai representasi dari akumulasi kekuatan intelektual (frame of reference)  dan pengalaman (field of experience).  Ilmu pengetahuan tanpa ditulis atau publikasi  akan mudah untuk dilupkan, oleh karenanya hanya ada dua pilihan: publish or perish, menulis atau dilupakan/musnah. Kata pepatah yang lain, ikatlah ilmu dengan menuliskannya. Bab ini juga akan memberikan pemahaman yang lebih luas tentang arti sebuah tulisan—seperti  yang pernah diucapkan oleh Pramoedya Ananta Toer, “orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

Akan tetapi tidak semua orang menulis dengan tujuan mulia untuk pewarian peradaban. Sekarang ini banyak yang menulis karena tuntutan jabatan. Karena indikator yang paling nyata dari kinerja seorang pejabatan fungsional adalah tulisan, apakah ia seorang profesor, peneliti, dosen, guru, pustakawan, dan ratusan jabatan fungsioanl lainnya yang telah dikategorisasi pemerintah. Menulis hanya untuk mendaptkan angka kredit supaya jabatan fungsionalnya tidak mati dan yang terpenting adalah tunjangannya tidak berhenti. Jadi,  publish or perish yang sebener-benarnya ada di jabatan fungsional ini, karena kalau tidak pusblish atau menulis maka tunjangan  akan perish yang akhirnya meringis atau nangis. Menulis bukan untuk supaya namanya abadi akan tetapi yang paling utama adalah tunjangan tidak mati. Maka tidak heran apabila kita sering mendengar istilah devaluasi profesor, impotensi inovasi, dan maraknya plagiasi.

Tuntutan angka kredit ini ditangkap sebagai peluang  oleh penerbit yang hanya memikirkan untung tanpa memperhatikan kualitas, maka dibuatlah media publikasi berupa jurnal aba-abal atau jurnal predator. Jurnal aba-abal ini memuat tulisan-tulisan para pemburu angka kredit tanpa melihat kualitasnya, yang penting asal berani bayar. Indeks Scopus pun ternyata sangat mudah untuk direkayasa sehingga ada peneliti yang “berpresasi” tingkat nasional akan tetapi kemudian diberi sanksi karena ternyata memakai tipu-tipu ini.  Itu semua terjadi  karena budaya literasi yang lemah yang terjadi secara massif di seluruh bidang dan tingkatan sosial. 

Sepuluh tahun yang lalu kata “literasi” belum akrab di telinga masyarakat Indonesia. Literasi  sebuah  kata serapan dari literacy—suatu  aktivitas yang sudah lama kita lakukan—sekarang  sedang menjadi topik yang menghangat terutama di dunia pendidikan. Sustainable Development Goals (SDGs) menjadikan literasi sebagai program utama dalam mengurangi kemiskinan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) juga menjadikannya sebagai program prioritas dengan tagline “literasi untuk kesejahteraan rakyat.” Departemen pendidikan dan kebudayaan menjadikan Gerakan Literasi Sekolah mejnjadi program wajib dilaksanakan di semua satuan pendidikan.

Makna literasi dahulu hanya popular di dunia perpustakaan dan terbatas kepada literasi informasi yang berati kemampuan seseorang dalam mencari, mengelola, menggunakan, dan mengkomunikasikan kembalai informasi. Tapi sekarang sudah memasuki semua bidang sehigga literasi memiliki banyak makna, seperti pelangi atau taman yang penuh degan bunga warna-warni. Semuanya indah dan bermakna.

Ada yang memaknai literasi hanya padanan kata melek, berhubungan dengan sastra, budaya membaca, menulis, menghitung, dan lain-lain. Dari segi kedalamannya berjenjang mulai dari  literasi dasar sampai pada literasi kritis. Ada juga yang memaknai dari diemensi lain, yaitu literasi bukan hanya sekadar membaca buku tapi bagaimana menerapkan atau mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari. Literasi adalah peristiwa dialektika yang selalu aktual antara teks dan konteks atau interaksi antara buku dengan ruang dan waktu. 

“Bacalah!”   Semua perubahan—individu, bangsa, dan peradaban—diawali  dengan membaca. Dengan membaca maka pola pikir, emosi, perilaku dan akhirnya budaya berubah. Dari sejarah kita belajar bahwa orang-orang besar seluruhnya adalah kutu buku. Kita akan kesulitan mencari dalam tumpukan buku sejarah orang besar yang bukan kutu buku.  Bahkan banyak orang besar yang warna kepribadiannya tercelup oleh buku yang dibacanya. Misalnya Ghandi dan Hitler. Yang satu seorang humanis yang satu lagi seorang fasis. Warna keribadian yang sangat berjauhan, bahkan seolah antitesis. Yang satu seorang pasifis  (anti kekerasan) yang satu lagi seorang yang menggunakan kekerasan sebagai mesin kekuasaannya. Dalam biografinya Gandhi sangat dipengaruhi oleh sebuah buku yang berjudul Unto This Last karangan Ruskin, yang tidak sengaja diberikan oleh seorang teman untuk menemani dirinya dalam perjalanan.  Ia menuturkan bahwa sekali ia  mulai membacanya, buku tersebut langsung  mencengkeram dirinya. Hitler dipengaruhi oleh buku-buku  karya Charles Darwin terutama buku On the Origin of Species. 

Masih dalam konteks pentingnya membaca, sejarah nusantara menceritakan bahwa Ken Arok bisa merebut tahta dari Tunggul Ametung—dengan  kudeta—bukan  hanya mengandalkan  kekuatan militer akan tetapi juga karena dia adalah seorang literate yang berhasil menaikan statausnya dari sudra, kesatria, dan akhirnya menjadi seorang brahmana (cendekiawan) dengan cara otodidak membacai beribu-ribu naskah dalam lontar. Biografi yang terakhir saya baca adalah  biografi Elon Musk seorang industrialis kaya raya yang dijuluki Leonardo da Vinci Abad 21,  karena memiliki kebiasaan  membaca 10 jam sehari dan menamatkan dua buku tiap pekan.  Silahkan Anda deretkan nama-nama orang besar yang pernah muncul dalam sejarah dunia, maka sekali lagi Anda akan bertemu dengan para kutu buku.

Kemajuan sebuah bangsa pun sangat ditentukan  kapasitas pengetahuan warga  negaranya—sebagai  salah satu faktor utama.  Hampir semua negara maju adalah negara yang budaya bacanya bagus. Tentu saja budaya baca bukan segalanya dalam menentukan kemajuan akan tetapi ada faktor lain yang sama pentingnya misalnya faktor keadilan, geografi, dan demografi,  juga sejarah.  Sejarah imperailisme dan kolonialisme adalah sejarah invasi oleh bangsa yang memiliki pengetahuan dan teknologi yang kuat  kepada bangsa yang lemah pengatahuannya. Itu terjadi dari masa imperaliasme primitif  yang menyandarkan kepada kekuatan  moncong senjata sampai kepada imperialisme modern atau soft collonialism dengan invasi budaya, ekonomi, dan politik terutama dengan kekuatan kapital atau modal  yang notabene  hasil  dari akumulasi pengetahuan.

Timbul-tenggalamnya sebuah peadaban seiring dan seirama dengan timbul-tenggalamnya perhatian suatu bangsa terhadap ilmu pengetahuan. Yunani dahulu menjadi soko guru peradaban dunia dengan sederet filsuf yang namanya abadi sampai hari ini. Siapa yang tidak mengenal  Sokrates, Arisoteles, dan Plato? Akan tetapi tragisnya, Yunani hari ini mendapat julukan negara gagal (failed state) karena tak mampu membayar utang.  Tanah airnya para filsuf itu kini terkapar tak berdaya membayar utang.  Jelas, bangsa Yunani  tidak mengikuti atau durhaka terhadap moyangnya,  karena Yunan  tidak dikategorikan negara yang maju dalam budaya litrasinya. Bangs Yunanti tidak lagi mampu melahirkan keagungan Iliad karya Hommer atau Republik karya Plato. Setelah kematian fara filsuf itu maka mati pula kebesaran bangsanya.

Kejayaan perdabana akhirnya dipergulirkan ke Dunia Islam. Sejak abad ke-6 sampai 12 Islam menjadi pemimpin perdaban dunia. Dalam periode inilah lahir dasar-dasar ilmu modern yang sekarang dikembangkan di Barat seperti ilmu kedokteran oleh Ibnu Sina (Aviciena), Ibnu Rus (Averou), ilmu matematika oleh al-Jabbar, al-Biruni, dalam bidang sosial  kita mengenal ahli sossiologi dan sejarah Ibnu Kholdun, bidang seni, astronomi, dan lain-lain. Dalam priode ini kita dapat memebaca dalam sejarah semua ilmu itu tergali berkat budaya literasi para ulamanya. Budaya Helenial yang rasional mereka adopsi dan adaptasi kedalam  kultur berpikir Islam. Mereka menjadikan budaya literasi sebagai  jalan jihad melalui tinta—yang  lebih utama dari pada melalui pedang atau moncong senjata. Tinta ulama lebih berharga daripada darah para syuhada. Dan rata-rata mereka memperoleh kemulian keduanya.

Sejak abad ke-12 sampai abad 21 ini kembali peradaban dipimpn oleh Barat, karena mereka yang memiliki budaya baca yang bagus. Sejarah peradaban adalah catatan perjalanan budaya literasi manusia.  

Mungkin pertanyaan umum yang sering dikemukakan adalah mengapa bangsa kita tidak suka membaca? Menjawab pertanyaan ini tidaklah sederhana, misalnya hanya karena tidak ada infrastruktur, akan tetapi menyangkut masalah ideologi, politik, ekonomi, social. Banyak juga yang menyalahkan sejarah—nenek moyang kita tidak berbudaya literasi tapi budaya lisan. Nenek moyang disalah sebagai legitimasi historis karena malas membaca. Sejatinya banyak bukti sejarah yang menunjukkan bahwa  nenek moyang kita juga berbudaya literasi. I La Galigo yang terdiri dari 5000 lembar lontar adalah mahakarya putra nusantara, sebagai bukti nyata bahwa nenek moyang kita juga memiliki budaya literasi yang tidak kalah dari negara lain. Belum lagi karya yang berupa serat, babad, prasasti, dan lain-lain jejeak literasi nenek moyang. Jadi, masalahnya bukan bangsa kita tidak memiliki budaya literasi akan tetapi terletak pada kontennya. Hampir semua peninggalan literasi itu berisi pesan tentang kekuasaan (politik), moralitas (etika dan etiket), dan kesenian. Jarang sekali ditemukan dokumentasi tentang karya ilmiah.  Hal ini terjadi berkaitan dengan faktor alam yang subur makmur, tidak menuntut untuk berpikir ilmiah karena segal kebutuhan dasar manusia sudah tersedia. Berbeda dengan bangsa lain yang alamnya menuntut penduduk untuk berpikir dan bekerja keras untuk menaklukannya bila perlu keluar dari daerahnya untuk pindah dan menalkukkan atau mengkoloni daerah lain. 

Selain itu juga setiap bangsa memiliki dua sisi budaya lisan (oralitiy) dan tulisan (literacy). Jangan menganggap rendah budaya lisan, karena masih-masih memiliki kekuatan dan kelemahannya. Bahkan Plato pernah berpendapat bahwa justru budaya literasi telah membunuh ingatan manusia. Hari ini kita merasakan, dengan kemajuan budaya litersi (media) sekarang orang tidak perlu lagi banyak menghafal atau memenuhi memomorinya dengan berbagai informasi. Informasi sudah tersimpan di luar memori manusia dalam bentuk hardisk atau internet bahkan cloud computing. Dampaknya adalah manusia sangat tergantung kepada media,  memorinya sendiri kosong. Baik dudaya lisan mapun budaya tulisan diperlukan oleh manusia—tidak usah dikotomikan—yang  penting adalah isi dari pembicaraan atau tulisan. Lebih baik mana, ngobrol tentang Iptek atau membaca tulisan tentang pornografi?

Buku sebagai kekuatan budaya. Memaknai buku sebagai jendela dunia. Buku bukan hanya sekadar kumpulan kata-kata yang dijilid, akan tetapi buku merupakan dunia yang dijilid. Masa lalu, hari ini,  dan prediksi masa depan ada di dalamnya. Buku adalah memori semesta yanag merekam dialektika antara ruang dan waktu di sepanjang peradaban manusia.  Kemusnahan buku adalah kemusnahan peradaban,  tidak membaca buku adalah tanda berhentinya inovasi dan kretivitas sebagai esensi dari peradaban manusia. Bangsa yang menistakan atau tidak mengharagai buku akan dikutuk menjadi bangsa yang jumud, lemah, dan terbelakang, bahkan mungkin akan musnah dan dilupkan oleh sejarah.

Tentu saja membaca bukan hanya untuk membaca, akan tetapi informasi yang diperoleh harus bertansformasi menjai ilmu pengetahuan. Sesungguhnya kapasitas  ilmu pengetahuan inilah yang akan menjadikan seseorng atau suatu bangsa lebih unggul daripada yang lain. Negara adidaya adalah negara yang  menjunjung tinggi  supremasi ilmu pengetetahuan.  Dengan semboyan knowledge is power, sebagaimana disuarakan oleh Francis Bacon, maka  lahirlah abad pencerahan (renaissance). Dan hari ini kita menyaksikan sendiri bahwa negara-negara maju itu adalah mereka yang menguasai ilmu pengeteahuan dan teknologi (Iptek). Sulit untuk dibantah bahwa budaya literasi Iptek adalah fondasi kemajuan baik dalam skala personal, bangsa, mauapun peradaban.

Data-informasi-pengetahuan begitu sekuental prosesnya. Pengetahaun adalah informasi yang sudah diolah menjadi barang yang berguna. Jadi, apabila baru membaca itu belum menjadi pengetahuan. Setingkat lebih tinggi dari pengetahuan dadalah keibijakan (wishdom).  Identitas dan kapasitas sesorang ditentukan oleh jenis dan tingkatan informasi yang digelutinya. Bila ia berkutat dengan masalah-masalah teknis maka ia akan menjadi seorang teknisi, bila banya bekecimpung dalam pengelolaan ifnromasi maka ia akan menjadi menajer,  dan bila pengetetahuan yang menjadi perhatiannya maka ia akan menjadi seorang pemimpin atau CEO,  dan bila yang menjadi konsensnya adalah sudah meningka dalam bidang kebijakan (wishdom) atau filosofis maka dia akan menjadi seorang  guru (master), yang banyak melahirkan ide, gagasan, atau inovasi.

Buku sebagai media informasi mengalami transformasi mengikuti kemajuan teknologi.  Kini sumber informasi tidak hanya berbentuk kertas, akan tetapi beralih bentuk ke dalam elektronik atau digital.

Kini bukan hanya buku akan tetapi perpustakaan pun ada di dalam genggaman, bahkan perputakaan digital terbesar  di diunia ada di dalam  genggaman yaitu Google.  Tentu saja kemajuan media memiliki kekurangan dan kelebihannya. Antara buku konvesional dan buku digital bukan saling mematikan akan tetapi saling komplementer. Untuk mencari dan memverifikasi sebuah informasi secepat kilat  dapat dilakukan dengan bantuan internet akan tetapi untuk kedalam buku konvesional  masih tak tergantikan.

Di anatara media infomasi yang semakin variatif, nampaknya  madia mainstream terutama televisi masih  memiliki pengaruh yang besar. Teori-teori klasik tentang media massa seperti jarum hypodermis, agenda setting, dan bullet theory—yang  meangasumsikan begitu perkasanya media massa dalam mempengaruhi audiens—masih  relevan.  Maka masih pantas juga bila media massa  dijuluki kekuatan keempat setelah legislatif,eksektufit, dan yudikatif (trias politika). Kini muncul kekuatan  kelima berupa media sosial yang sangat sulit dikontrol oleh kekuatan negara. Media sosial yang popular seperti facebook, whatapp, dan twitter mampu untuk menggerakaan revolusi sosial seperti  peristiwa Arab Spring berapa tahun yang lalu yang kemudian diikuti oleh negara lain. Saking besarnya pengaruh yang ditimbulkan oleh media massa, Marshall McLuhan mengatakan bahwa medianya saja sudah merupakan pesan tersendiri—the medium is the message.

Sekarang ini literasi media sedang digalakan terkait dengan maraknya hoaks di masyarakat. Sebenarnya untuk menganalisis sebuah berita itu hoaks atau bukan bisa dibantu dengan formulasi komuikasi politik dari Harold D.Laswell: who, says what, in which channel, to whom, with what effect. Formulasi ini menggambarkan alur komunikasi yang setiap komponennya harus dianalisis atau diwaspadai: Who (analisis komunikator), says what (analisis pesan), in which channel (analisis media), to whom (analisis khalayak),  with what effect (analisis efek). Menurut saya ini adalah formulasi penangkal hoaks yang paling relevan hingga saat ini. Apabila kita menerima sebuah berita atau pesan maka yang harus diperhatikan adalah siapa yang berbicara/mengirimnya, berbica apa,  melalui saluran atau media apa, kepada siapa pesan itu dimaksudkan, dan pengaruh apa yang dia inginkan pada khalayak atau pendengarnya. Sebagai contoh “who”, komponen pertama. Who dalam bentuk personal sangat dipengaruhi oleh kredibilitas, integritas, dan  kapasitas. Who dalam bentuk lembaga/organisasi sangat dipengaruhi oleh kepentingan (politik, ekonomi, ideologi) pemilik medianya. Begitu pun komponen yang lainnya. Intinya tidak ada pesan yang netral atau bebas nilai,  kita harus pandai menghubungkan antara teks dengan konteks. 

Indikator dari penguasaan ilmu pengatahuan dan teknologi adalah tulisan dan publikasi. Kapasitas seseorang bisa dilihat  dari tulisannya sebagai representasi dari akumulasi kekuatan intelektual (frame of reference)  dan pengalaman (field of experience).  Ilmu pengetahuan tanpa ditulis atau publikasi  akan mudah untuk dilupkan, oleh karenanya hanya ada dua pilihan: publish or perish, menulis atau dilupakan/musnah. Kata pepatah yang lain, ikatlah ilmu dengan menuliskannya. Bab ini juga akan memberikan pemahaman yang lebih luas tentang arti sebuah tulisan—seperti  yang pernah diucapkan oleh Pramoedya Ananta Toer, “orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

Akan tetapi tidak semua orang menulis dengan tujuan mulia untuk pewarian peradaban. Sekarang ini banyak yang menulis karena tuntutan jabatan. Karena indikator yang paling nyata dari kinerja seorang pejabatan fungsional adalah tulisan, apakah ia seorang profesor, peneliti, dosen, guru, pustakawan, dan ratusan jabatan fungsioanl lainnya yang telah dikategorisasi pemerintah. Menulis hanya untuk mendaptkan angka kredit supaya jabatan fungsionalnya tidak mati dan yang terpenting adalah tunjangannya tidak berhenti. Jadi,  publish or perish yang sebener-benarnya ada di jabatan fungsional ini, karena kalau tidak pusblish atau menulis maka tunjangan  akan perish yang akhirnya meringis atau nangis. Menulis bukan untuk supaya namanya abadi akan tetapi yang paling utama adalah tunjangan tidak mati. Maka tidak heran apabila kita sering mendengar istilah devaluasi profesor, impotensi inovasi, dan maraknya plagiasi.